Peranan dan Fungsi Keluarga Melayu

Keluarga berperanan sebagai agen sosialisasi. Proses pembelajaran budaya ini bermula di peringkat paling awal, yaitu didalam keluarga lagi. Walau bagaimanapun, proses pendidikan ini adalah sesuatu yang tidak formal dengan mereka diajar tentang nilai dan norma masyarakat. Pada tanggapan orang Melayu, proses sosialisasi terdiri daripada dua tahap besar. Tahap pertama merujuk kepaa masa seorang anak-anak itu bergantung sepenuhnya kepada kedua-dua ibu dan bapak dalam hampir semua aspek kehidupan. Tahap kedua pula merujuk kepada tingkatan anakanak telah meningkat dewasa atau pada peringkat remaja.

Dalam tahap pertama yang diberatkan adalah proses pembentukan akhlak dan perkembangan pribadi yang akur kepada nilai dan norma masyarakat. Anak-anak diajar supaya senantiasa berkelakuan baik, berbudi bahasa, mematuhi arahan dari kedua orang tua, menghormati saudara dan selalu bertindak dalam lingkungan peraturan dan tatasusila yang diterapkan. Pada tahap ini orang Melayu menggunakan beberapa pendekatan seperti lazimnya anak-anak dimarahi, ditegur, didenda dan disuruh berjanji supaya tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan.

Tahap kedua adalah pada tingkatan anak-anak meningkat dewasa atau remaja. Pada tingkatan ini kedua orang tua seringkali member nasehat dan memberi gambaran tentang masyarakat alam Melayu yang berlayar di lautan hindia untuk pergi ke Afrika Timur, pedagang ini menjual hasil hutan tropika dari Asia Tenggara dan alam Melayu kepada orang Arab.

Keluarga juga memainkan peranan dalam menyemai dan mengukuhkan doktrin keagamaan kepada anggotanya. Kedua orang tua misalnya diberi tanggungjawab untuk memberikan pendidikan agama yang secukupnya kepada anak-anak. Sekiranya tidak dapat mengajari sendiri, maka anak-anak dapat diantar belajar membaca Al-Quran, ilmu Fiqh, ilmu Tauhid sebagainya daripada guru agama yang berdekatan. Sekiranya ada anak-anak yang jahil tentang hal-hal ini, kedua orang tua dianggap tidak menjalankan tanggungjawab yang semestinya. Bagi orang melayu, keadaan ini adalah sesuatu yang memalukan. Kedua orang tua juga ditugaskan supaya menyuruh anak-anak mereka mengamalkan rukun islam terutamanya sholat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan, disamping mereka sendiri tidak mengabaikan kewajiban tersebut.

Masyarakat melayu di Kepulauan Riau memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Hal ini sesuai dengan tempat tinggal mereka yang berkelompok di pesisir pulau-pulau yang tersebar di Kepulauan Riau. Biasanya kehidupan mereka tinggal berkelompok masih memiliki hubungan kekeluargaan. Bahkan tidak sedikit yang juga memiliki hubungan keterkaitan kekeluargaan meskipun tinggal berjauhan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Mereka memiliki hubungan kekeluargaan baik karena hubungan pernikahan, ataupun secara turun temurun memang sudah bertempat tinggal disekitar desa-desa pesisir.

Faktor mata pencarian masyarakat Melayu pesisir di Kepulauan Riau yang bergantung dari laut dengan cara menangkap ikan, menjadi karakteristik yang membedakan dengan masyarakat di pulau jawa yang bermata pencarian sebagai petani. Cara mereka mencari penghidupan dengan bercocok tanam menyebabkan cara berhubungan dan berinteraksi social masyarakat juga berbeda. Masyarakat melayu dipesisir dalam bekerja mencari ikan dilaut

cenderung melakukannya sendiri-sendiri. Sebab mereka menggunakan alat angkut untuk menangkap ikan dilaut dengan menggunakan sampan (perahu) yang kapasitasnya terbatas. Mereka melaut sebagai nelayan tradisional dengan peralatan tangkap seadanya. Berbeda dengan petani di jawa yang terbiasa bekerja disawah secara bersama-sama, sehingga muncul istilah bergotong-royong.

Masyarakat melayu bukan tidak punya kebiasaan bergotong-royong dalam hal pekerjaan, melainkan masyarakat melayu melakukan pekerjaan bergotong-royong saat upacara adat ataupun acara perkawinan.

Pada masa masyarakat Melayu dipimpin oleh seorang Sultan, maka masyarakat hidup berkelompok di pulau-pulau ataupun gugusan pulau-pulau. Kesatuan masyarakat yang hidup bersama ini dinaungi dengan istilah “Kampung”. Pemimpin kampong disebut dengan Batin, sedangkan orang yang dipersiapkan untuk menduduki posisi sebagai batin disebut dengan sandar batin. Biasanya Batin dipilih dari orang-orang yang dianggap memiliki kewibawaan dan disegani di suatu kampong. Batin menjadi perwakilan Sultan untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang ada ditingkat kampong. Selain Batin, ada juga yang disebut dengan Hakim. Hakim dipilih dari orang kampong yang dianggap memiliki kemampuan dalam ilmu agama. Hakimlah yang akan memutuskan dan mengambil tindakan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat kampong, terutama masalah rumah tangga. Apabila permasalahan pelanggaran memiliki sanksi yang berat seperti hukum pancung, maka orang yang tersebut tidak dibawa ke Hakim, melainkan langsung dibawa ke Sultan yang ada di Pulau Penyengat untuk dilakukan pelaksanaan hukuman.

Kebiasaan musyawarah dikalangan masyarakat melayu juga dilakukan jika hendak mengambil sbeuah keputusan yang menyangkut kepentingan kampong, misalnya rencana pembangunan yang akan dilakukan di kampong. Hanya saja cara mengumpulkan masyarakat kampung dilakukan dengan menyesuaikan waktu mereka saat tiak bekerja dilaut. Pekerjaan masyarakat melayu pesisir yang mencari ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, jika air pasang pagi maka mereka akan turun kelaut pada pagi hari dan akan kembali pada saat air sebelum surut, begitu sebaliknya jika air pasang malam, maka nelayan akan pergi ke laut pada malam hari dan kembali pada pagi hari sebelum air laut surut. Dengan demikian untuk mengumpulkan masyarakat dalam rangka bermusyawarah harus seusia waktunya, yaitu pada saat mereka tidak ke laut. Termasuk pada saat musim angin kencang yang menyebabkan masyarakat nelayan tidak dapat pergi kelaut adalah saat yang tepat untuk berkumpul dan bergotong royong dalam membantu sesame misalnya membangun rumah.

Di Kabupaten Bintan terdapat struktur pengelompokkan masyarakat berdasarkan pada garis keturunan nasab yang disebut dengan garis keturunan “Walak” atau garis ibu atau perempuan, sedangan dilain sisi disebut dengan “Waris” yang mengikut pada garis ayah atau Lelaki. Mereka yang termasuk dalam kerabat dari garis walak menempatkan posisi pada karakteristik yang lebih kepada karakter seorang ibu, sehingga cenderung keputusan-keputusan yang menyangkut adat ataupun pandangan tidak dapat diputuskan oleh kelompok walak. Sedangkan kelompok waris yang dianggap sebagai cerminan perwakilan dari laki-laki, cenderung lebih dominan dalam mengambil suatu keputusan yang berhubungan dengan kepentingan kampung ataupun adat istiadat setempat.

 

Sumber : Buku Upacara Adat Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau