MENCUCUK ATAP DAUN SAGU

Pohon sagu atau rumbia tumbuh subur di pulau Lingga. Masyarakat bukan saja memanfaatkan sagu putih sebagai bahan makanan dari batang sagu tetapi juga menggunakan daunnya sebagai atap rumah. Christiaan van Angelbeek seorang juru bahasa Melayu pegawai pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1819 pernah berkunjung ke Daik dan mencatat tentang penggunaan daun sagu yang dipakai oleh penduduk sebagai bahan atap rumah. Pada zaman Kerajaan Lingga-Riau, wilayah Lingga telah menjadi daerah penghasil atap yang dikirim ke luar daerah. Pada masa kini masyarakat Daik dan penduduk Lingga terus memanfaatkan daun sagu sebagai atap bangunan. Atap daun sagu yang sampai kini masih digunakan oleh masyarakat, dikarenakan harganya lebih murah dan terjangkau dibandingkan atap buatan pabrik seperti seng, asbes dan genting. Atap daun sagu digunakan oleh masyarakat yang kurang mampu untuk membeli atap buatan pabrik dan masyarakat yang membutuhkan atap untuk bangunan yang tidak diperlukan dalam waktu lama untuk berdiri, seperti pondok dikebun durian dan bangsal untuk kegiatan sementara waktu. Penggunaan atap daun sagu juga lebih membuat suhu di dalam rumah lebih dingin dan nyaman.

Di Lingga, daerah-daerah penghasil atap daun sagu berada di wilayah yang tumbuh subur pohon sagu. Beberapa desa penghasil atap daun sagu seperti Desa Nerekeh, Desa Panggak Laut, dan Desa Merawang yang terletak di Kecamatan Lingga. Ketiga Desa ini termasuk wilayah yang ditumbuhi subur pohon sagu dan sebagian penduduknya bekerja sebagai petani sagu. Di Lingga, membuat atap daun sagu disebut dengan mencucuk atap. Penduduk yang mencucuk atap dari kalangan kaum perempuan ibu-ibu rumah tangga. Pekerjaan mencucuk atap yang digeluti oleh ibu rumah tangga, telah menambah penghasilan ekonomi sehari-hari mereka.

Hutan sagu dan sekitarnya menyediakan bahan-bahan untuk membuat atap. Para pembuat atap secara lansung masuk ke hutan untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan. Bahan mencucuk atap terdiri dari mengkawan, daun sagu, dan bintit. Mengkawan merupakan bilah kayu atau bambu atau bahan lainnya lebih kurang sebesar jari telunjuk orang dewasa yang berfungsi sebagai tulang penguat lipatan daun atap. Mengkawan yang berada di dalam atap digunakan untuk mengikat atap dengan kasau rumah. Mengkawan yang digunakan bukan saja berbahan kayu seperti kayu situlang, tetapi juga bisa dari bilah buluh, dan bilah guyung kulit sagu. Bintit merupakan kulit dari pelepah sagu yang digunakan untuk mengikat lipatan atap sehingga tidak lepas dan sekaligus menjepit mengkawan.

Di dalam hutan sagu, pembuat atap akan mencari daun sagu yang layak dibuat bahan atap. Daun sagu yang paling bagus dibuat atap adalah daun yang telah tua, karena lebih awet, dan tebal. Pohon sagu yang telah ditebang, sebagian daunnya sangat bagus diambil karena telah tua. Daun sagu yang ditemukan dipisahkan dari pelepah dan kemudian disusun untuk dikebat. Setelah daun sagu di kebat dan diikat pencucuk atap akan membawa daun sagu dengan cara diletakkan di atas kepala atau pun dipikul untuk dibawa pulang ke rumah. Di rumah masing-masing akan dilakukan kerja mencucuk atap. Atap yang dibuat berukuran lebih kurang dengan panjang atap lebih kurang 127 cm dengan lebar 37 cm. Atap daun yang telah jadi dijual kepada penduduk yang membutuhkan dengan cara penjualan sejumlah keping atap dihargai dengan harga tertentu. Usaha ibu rumah tangga yang bekerja mencucuk atap dengan bahan-bahan yang mudah didapat telah turut membantu masyarakat ekonomi lemah dalam membangun tempat tinggal. Atap daun sagu juga ramah lingkungan karena berbahan dari tumbuh-tumbuhan. Jika atap tidak bisa digunakan lagi karena rusak atau pun lapuk tentunya akan menjadi bagian dari sampah organik atau pun sampah alam yang ramah lingkungan.

 

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga