Tradisi Malam Tujuh Likur di daik, malam ke 10 terakhirbulan puasa atau Ramadhan ditandai dengan tradisi likur. Sebuah kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung sangat lama dan terus lestari sampai kini.
Tradisi Tujuh Likur adalah tradisi memasang lampu pelita (lampu dengan bahan bakar minyak) di perkarangan rumah dan menghias jalan-jalan.
Dimulai pada malam ke 21 masyarakat di daik menandai dengan satu buah lampu pelita.Warga menyebutnya malam selikur atau satu likur. Hal ini terus berlanjut hingga malam penghujung bulan Ramadhan. Menambah lampu pelita sesuai bilangannya.
Yang paling istimewa ketika masuk malam ke 7, Malam ganjil.satu dari malam-malam ganjil yang paling istimewa di bulan suci Ramadhan. Tidak hanya diperkarangan rumah, ribuan lampu-lampu pelita bakal menghiasi bahu jalan. Ditambah karya-karya pintu gerbang dengan motif dan corak islami. Gubah-gubah masjid, bulan-bintang, kaligrafi berpadu-padan. Nampak megah di jalan-jalan.pembuatan pintu gerbang biasanya dilakukan oleh para pemuda daerah atau kampung setempat mereka membuatnya secara bergotong royong secara suka rela, mulai dari pengambilan bahan-bahan material berupa kayu, papan, bahan buat pelita, dan lain-lain dalam jumlah yang banyak tergantung besar kecilnya pintu gerbang yang akan dibuat untuk perayaan malam 7 likur.
Setelah pembuatan pintu gerbang selesai pada satu hari sebelum malam tujuh likur akan di adakan doa selamat dan berbuka bersama-sama oleh pemuda dan masyarakat di sekitar pintu gerbang menikmati hidangan kue mue, juadah tradisi melayu dan dilanjutkan dengan pemasangan lampu pelita secara bersama-sama