- Sejak Kanak-Kanak Menjadi Sultan
Kerajaan Riau Lingga johorPahang sejak Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah telah memantapkan kedudukan pusat kerajaan di Ulu Riau, Sungai Carang, Pulau Bintan. Beliau dilantik menjadi sultan pada 4 Oktober 1722. Sejak saat itu Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang mempunyai jabatan baru di bawah sebagai “pembantu“ Yang Dipertuan Besar. yakni Yang Dipertuan Muda (YDM). YDM I Riau adalah Daeng Marewah (1722-1728).Selanjutnya beliau digantikan oleh Daeng Celak sebagai YDM II (1728-1745), YDM III Riau adalah Daeng Kamboja ( 1745-1777). Tentang hal ini dijelaskan panjang lebar oleh Haji Buyong Adil. Katanya pada Agustus l760 Sultan Sulaiman telah menyuruh Raja Selangor (Raja Lumu), Raja Haji, dan putra Baginda, Raja Abdul Jalil Raja di-Baroh, pergi ke Rembau mengambil Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dibawa balik ke Riau untuk menjalankan pemerintahan negeri. Namun, setelah ketiga-tiga orang raja itu meninggalkan Riau, Sultan Sulaiman pun jatuh gering. Pada masa itu juga Engku Putih (anak Daeng Celak), istri Raja Abdul lalil Raja di Baroh yang tinggal di Riau itu, bersalin (melahirkan) seorang puta yang diberi nama Raja Mahmud. Putra beliau yang sulung bernama Raja Ahmad, abang Raja Mahmud, masih kanak-kanak lagi, belum balig.
Kemudia lanjut Buyung Adil rombongan Raja Selangor (Raja Lumu), Raja Haji, dan Raja Abdul Jalil sampai ke Pedas (Rembau). Mereka segera menyampaikan titah Sultan Sulaiman kepada Daeng Kamboja agar balik ke Riau. Rombongan beberapa hari di Pedas. Daeng Kamboja menyetujui Raja Abdul jalil mengikut Raja Selangor pergi melawat ke Selangor (Kuala Selangor). Akan tetapi, dengan tak disangka-sangka, tiba di Selangor, Raja Abdul jalil telah jatuh gering, demam, dan beliau diam di istana Raja Lumu itu. Sementara Sultan Sulaiman di Riau yang sedang gering, semakin bertambah gering pula.Akhirnya, pada 1760 itu juga Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah mangkat di Riau pada usia lebih kurang 60 tahun. Kala itu Daeng Kamboja dan Raja Haji masih di Rembau (Pedas) dan putra almarhum, Raja Abdul Jalil Raja di-Baroh yang telah ditentukan bakal menggantikan almarhum berkerajaan itu, sedang gering pula di Selangor (Kuala Selangor).
Setelah wafatnya Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, jelas Buyong Adil maka Bendahara pun mengantarkan utusan pergi memberitahukan hal itu kepada putra almarhum, Raja Abdul Jalil di Selangor, serta kepada Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji di Pedas (Rembau). Berita duka cita itu disampaikan juga kepada Raja Selangor (Raja Lumu) di Selangor. Dengan kehendak Allah, kira-kira lima bulan kemudian Raja Abdul Jalil yang sedang berada di Selangor itupun secara tiba-tiba mangkat pula. Raja Abdul Jalil secara otomatis telah menjadi Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang Sayangnya, sebelum menduduki tahtanya di Riau beliau telah mangkat. Maka jenazah beliau disiapkan di Selangor. Selepas itu jenazah dibawa dengan adat-istiadatnya ke tempat Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji di Pedas (di Rembau). Dari Pedas dengan istiadatnya pula, jenazah itu dibawa oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji dalam suatu rombongan besar, 45 buah perahu, balik ke Riau pada Februari 1761. Rombongan disambut dengan adatnya.
Setiba di RiauYang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja serta orang besar-besar Bugis di Riau, urai Buyong Adil, telah merajakan Raja Ahmad, putra sulung alhmarhum, menjadi Yang Dipertuan Besar, Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan daerah takluknya, dan digelar Sultan Ahmad Riayat Syah. Pada masa itu, usia baginda lebih kurang sembilan tahun dan adindanya, Raja Mahmud, masih kecil. Selepas itu, barulah jenazah almarhum Sultan Abdul Jalil dimakamkan di pemakaman ayahandanya, Marhum Batangan (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah). Sahdan tidak lama selepas itu ibunda Sultan Ahmad, Engku Putih binti Daeng Celak mangkat pula. Sehingga Raja Mahmud dan kakandanya Sultan Ahmad Riayat Syah menjadi yatim piatu. Akibatnya, keduanya berada dalam pengasuhan keluarga suku Melayu di Kampung Bulang dan dalam tanggungjawab Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja bersama Engku Kelana Raja Haji ibni Daeng Celak. Secara lebih jelas, sebagaimana diterangkan Buyong Adil, Raja Mahmud dipelihara oleh emak saudaranya (bibinya) Engku Hitam (adik Engku Putih), Raja Aminah, dan Raja Halimah (adik Raja Haji). (Adil, 1971:122-125).
Perihal ketegangan dan permusuhan Kerajaan Riau-Lingga-Iohor-Pahang di bawah pimpinan Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamysah bersama putranya Raja Abdul Jalil dan Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja, dan Kelana Raja Haji dengan Belanda, serta kemungkinan penyebab wafatnya Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamyah dan putranya Sultan Abdul Jalil, yang dikenal pula sebagai Raja di Baruh atau Tengku Besar, dijelaskan secara panjang lebar oleh E. Netscher dalam tulisan laporannya: De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 (Batavia, Brunining & Wijt 1870), yang diterjemahkan oleh Wan Ghalib dengan judul Belanda di Johor dan Siak 1602-4865 (Ghalib, 2002:147-l89).
Ketika Sultan Sulaiman mangkat, putranya Sultan Abdul Jalil yang sedang berada di Pedas (di Rembau), yang kemudian juga mangkat. E. Netscher (1870) menjelaskan bahwa pada 22 Februari 1761 Daeng Kamboja berlayar dengan armadanya ke Riau. Jenazah Tengku Besar (Sultan Abdul Jalil ibni Sultan Sulaiman) telah dimakamkan di pemakaman raja-raja di Sungai Baruh, di samping makam ayahnya (kini kawasan tersebut dikenal bernama Kampung Bulang, Batu Enam, Tanjungpinang, Pen.) Maka, Daeng Kamboja bertindak sebagai wali dari putra almarhum Raja di Baruh, yang telah dinobatkannya menjadi raja Riau-Johor dengan gelar Sultan Ahmad Riayat Syah. Sultan Ahmad pada waktu itu baru berumur delapan atau sembilan tahun, tetapi tak mendapat asuhan yang diperlukan dari ibundanya, Engku Putih, karena ibundanya meninggal beberapa minggu setelah suaminya Tengku Besar Abdul Jalil wafat. Engku Putih, sewaktu suaminya berada di Selangor pada akhir I760, telah melahirkan putera kedua yang diberi nama Raja Mahmud. Ternyata, Raja Ahmad tak berumur panjang, dan Raja Mahmud, adiknya, masih bayi dan masih digendong ketika dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar atau Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan daerah takluknya oleh Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja. (Ghalib, 2002:l86-187).
Tentang perkara Daeng Kamboja selaku Yang Dipertuan Muda III Riau bersikukuh hendak melantik Raja Mahmud menjadi Yang Dipertuan Besar Sultan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang dijelaskan oleh sejumlah penulis, antara lain Raja Ahmad dan anaknya Raja Ali Haji, dan Shaharom Husain, yang menjelaskan setelah Sultan Abdul Jalil Muadzam Syah ibni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah wafat, maka di lantiklah anaknya Raja Ahmad menjadi sultan. Namun, dalam tahun 1761 itu juga, Sultan Ahmad mangkat. Akhirnya pihak Melayu dan Bugis sebulat suara bersetuju Raja Mahmud menjadi sultan, maka baginda pun dilantik menaiki tahta kerajaan menggantikan saudaranya Raja Ahmad dengan gelaran Sultan Mahmud Syah III (Husain, 1995:4I-42).
Menurut Tuhfat al-Nafis (1865) yang dialih-bahasa ke Inggris oleh Virginia Matheson Hooker (1991) dan diterjemahkan oleh Ahmad Fauzi Basri. terjadilah pertemuan antara pihak bugis dengan melayu berkenaan dengan penganti Sultan Ahmad sebagai Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Juhur-dan Pahang dan daerah takluknya. Telah terjadi perdebatan antara pihak bugis (dibawah pimpinan Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja) dan Raja Haji (Engku Kelana) dengan pihak melayu dengan pimpinan, Datuk Bendahara Temenggung. Tuhfat al-Nafis menjelaskan, syahdan apabila keesokan hari maka berkumpullah segala raja-raja suku Melayu serta (Datuk Bendahara Temenggung semuanya ke balai serta) berkain lepas, dan berpendawa semuanya, dan Bugis-bugis dengan anak rajanya pun datang pula berkumpul, dengan memakai seluar sampak bertondera batung semuanya, berpendawa juga dengan kelewangnya dan halamangnya. Maka duduklah bersebelahan Bugis-bugis dengan Melayu itu. Maka Yang Dipertuan Muda dan Raja Haji serta anak-anak raja Bugis sekalian duduklah bertentangan dengan raja Melayu itu. Maka yang Dipertuan Muda pun memandang-mandang berkeliling-keliling, maka dilihat olehnya Dahing Cellak dan Dahing Kecik dan Engku Muda adik-beradik, duduk berdekat-dekat dengan Datuk Temenunggung semua. Maka bertitahlah Yang Dipertuan Muda kepada anak raja ketiga itu titahnya, “Cellak dan Kecik dan Muda, mari engkau ke mari sebelah aku semua di sini.” Maka Dahing Cellak dan Dahing Kecik pun adik-beradik beralihlah pihak sebelah Yang Dipertuan Muda itu. karena ia putera Raja Maimunah konon.
Lebih lanjut dalam Tuhfat al-Nafis diterangkan seketika lagi maka Yang Dipertuan Muda (pun) naiklah ke istana lalu didukungnya Raja Mahmud, dibawanya turun (ke balai) lalu diribanya di atas singgahsana. (Syahdan pada satu kaul orang tua-tua adalah menjulangnya itu satu anak baik daripada keturunan Bugis yang empat puluh, yang bernama To Kubu adanya). Setelah anak raja-raja Bugis melihat yang demikian itu, maka ia pun (masing-masing) memegang hulu kerisnya. Maka Yang Dipertuan Muda pun bertitah(lah), “Barang tahu kiranya suku-suku (sebelah) Melayu, dan sebelah Bugis, bahawa sesungguhnya inilah raja Johor, dengan segala takluk daerahnya yang diangkat oleh Bugis (sebagaimana mengangkat nendanya Marhum Batangan, dan ia pun demikian jua). Maka barang siapa (yang) tiada membetuli aturan ini, maka pada hari /inilah/ (dan waktu) inilah (kita) berhabis-habis.” Maka lalu(lah) ia menghunus halamangnya.
Pada akhirnya urai Tuhfat al-Nafis. , .. Maka Datuk Bendahara berkata, “jikalau sudah patut (ke)pada abang semua (sebelah Bugis), Raja Mahmud ini menjadi raja Johor (dengan segala takluk daerahnya) maka saya semua pun sertalah, (karena semunya pun anak cucu marhum juga, semuanya patut saya sembah).” Maka jawab Yang Dipertuan Muda, “jikalau sudah begitu (Orang Kaya), alhamdulillah sama-sama betul mufakat (antara kita kedua pihak.” Maka lalu disarungnya halamangnya). Maka lalu diajak (oleh Yang Dipertuan Muda) antara kedua pihak /itu/ bersama-sama menjunjung duli. Maka menjunjung dulilah kedua pihak (Melayu dan Bugis itu). Kemudian baharu(lah) bersetia pula, (seperti setia Marhum yang Mangkat di Sungai Baru. Maka setelah selesai/ lah daripada itu maka/ titah Yang Dipertuan Muda, “Bacalah fatihah.” Maka dibacalah fatihah oleh imam akan fatihah dan doa. Maka habislah pekerjaan itu maka kembalilah antara kedua pihak Bugis dan Melayu itu (Metheson Hooker, 1991:320-322).
Tentang peristiwa bersejarah itu dijelaskan berbagai penulis, antara lain Haji Buyong Adil. Menurutnya pada 1761 itu juga Raja Ahmad mangkat di Riau dalam usia masih belia, belum akil-balig. Baginda digelar Marhum Tengah. Setelah mangkat Sultan Ahmad Riayat Syah (Marhum Tengah), ramai orang besar-besar Melayu di Riau berkehendakkan salah seorang dari saudara-saudara almarhum Sultan Abdul Jalil atau Raja di-Baroh yaitu Tengku Abdul Kadir atau seorang lagi Tengku Buang untuk dijadikan sultan. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan orang besar-besar Bugis memilih Raja Mahmud adik almarhum Sultan Ahmad dijadikan sultan.
Akhirnya dalam suatu perhimpunan ramai di Balai Besar Riau, jelas Buyung Adil lagi, pada saat itu dihadiri oleh orang besar-besar Bugis dan orang besar-besar Melayu, termasuk Bendahara (Tun Hasan), Temenggung (Abdul Jamal), dan anak-anak temenggung itu yang bernama Daing Kecil, Daing Celak, dan Engku Muda Muhammad (bunda mereka Raja Maimunah adalah anak Daing Perani dengan Tengku Tengah) hadir juga di balai itu. Yang Dipertuan Muda Daing Kamboja telah membawa Raja Mahmud ke balai itu. Sambil Raja Mahmud diribanya (didudukkan di pangkumnya, Pen.) di atas singgasana, Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja pun melantik Raja Mahmud jadi Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Setelah itu takada seorang pun di dalam perhimpunan itu yang membantah pelantikan itu dan Raja Mahmud pun jadi Yang Dipertuan Besar Johor-Riau-Lingga-Pahang dan daerah-daerah takluknya dengan gelar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) dalam usia satu tahun. Karena masih kanak-kanak itu, maka Baginda diasuh oleh emak saudaranya Engku Hitam (adik Engku Putih). Segala kuasa pemerintahan negeri dipegang oleh Yang Dipertuan Muda Daing Kamboja dengan dibantu oleh penolongnya Raja Haji. Yang Dipertuan Muda membuat istana baru dan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah tinggal bersama Daeng Kamboja. (Adil, 1971:126-127).
Sumber : Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah yang diPertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761-1812)