MERAMU KAYU

Upacara meramu kayu tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus dipimpin oleh seorang pawang dengan dihadiri oleh orang-orang yang turut meramu, terdiri dari yang punya hajat atau beberapa orang calon pemilik kelong (meramu dengan sistem gotong royong) dan para anak buahnya (tenaga upahan). Jumlah orang yang turut meramu dapat berkisar antara 10 sampai 20 orang. Upacara meramu kayu ini biasanya dilakukan pada pagi hari, namun sehari sebelumnya telah dilakukan kegiatan mencari dan menetapkan lokasi hutan sebagai objek meramu. Pada kesempatan itu juga dipilihlah kayu pertama yang akan ditebang. Kayu yang akan dipilih haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Hendaklah memilih kayu yang batangnya relatif lurus
  2. Jenis kayu tersebut tidak tinggal sebatang saja.
  3. Tidak dililit akar
  4. Tidak dililit ular
  5. Tidak sedang berbunga atau berbuah
  6. Tidak ada cacatnya
  7. kayu tersebut tidak ditandai orang.

Jika lokasi telah ditentukan dan rombongan sampai ke lokasi yang dimaksud sambil memeriksa kembali pohon pertama yang akan ditebang, pawang segera mengambil posisi duduk dekat pangkal pohon tersebut. Calon pemilik kelong biasanya duduk tidak jauh dari pawang, sedangkan rombongan lainnya duduk menyebar di tempat sekitarnya. Prosesi upacara ini dimulai dengan penyampaian hajad kepada pawang yang intinya adalah mohon bantuan pawang untuk meneruskan hajadnya kepada penguasa kayu/hutan, bahwa mereka membutuhkan kayu untuk bahan rumah/kelongnya. Hajad ini sebenarnya sudah disampaikan sebelumnya pada pertemuan pertama, tetapi secara resmi disampaikan kembali sebelum upacara dimulai, karena penyampaian tersebut merupakan salah satu rangkaian upacara. Setelah hajad diterima oleh pawang, maka upacara segera dimulai, dengan membacakan mantra kayu.

Adapun isi mantra kayu tersebut adalah sebagai berikut: “Assalamualaikum ye Nabi Ilyas kami minta ini kayu untuk buat (rumah/kelong) untuk mencari rejeki seade-adenye”. Pembacaan mantra ini diulang sebanyak tiga kali, diikuti pula tiga kali penetakan (ayunan kapak ke kayu). Setelah itu penetakan oleh pawang sampai pohon tersebut tumbang. Pekerjaan meramu kayu lainnya baru boleh dimulai setelah pawang menumbangkan kayu pertama yang akan di tebangnya.

Pada upacara meramu kayu terdapat cara dan mantra sebagai berikut: Sebelum upacara dimulai atau setelah hajad disampaikan, calon pemilik kelong menyerahkan bahan-bahan semah (upacara yang menyertakan bahan perlengkapan) kepada pawang, kemudian pawang meletakkannya di salah satu sudut sekitar kayu pertama yang akan ditebang. Upacara dimulai dengan pembakaran kemenyan dan setelah itu diikuti dengan pembacaan mantra sebagai berikut: “Assalamualaikum Hi Kiksan petale guru Nenek dayang kuning yang memegang hutan, Sang laut, sang Minah puteri lingsum selumandinah Oh datuk, kami hendak memberi tahu kepade engkau, Kami nak mohon kerje disini menumpang mencari makan. Engkau jangan usik, jangan ganggu kepade kami. Kalau ade anak cucu engkau, beritahu, jangan usik kami yang kasa Kalau ade salah silih kami minta maaf.

Bila ada gangguan atau halangan pada saat penebangan pada sebuah kayu, misalnya datang ular penyengat dan sebagainya, maka penebangan kayu tersebut tidak diteruskan, karena kehadiran binatang-binatang (terutama yang jarang dilihat), dianggap sebagai pertanda bahwa kayu tersebut tidak diizinkan untuk ditebang. Selama kegaitan ini ada pantangan yang harus ditaati, yaitu:

  1. Pantangan bila kayu pertama yang akan diramu tidak lurus batangnya, dililit akar, sedang berbunga atau berbuah, sudah ada cacat, sudah ditandai orang dan jenis kayu tersebut tinggal atau hanya sebatang diantara kayu lainnya.
  2. Bila ada gangguan atau halangan pada saat penebangan sebuah kayu, misalnya dating ular, penyengat dan sebagainya, maka penebangan kayu tersebut tidak boleh diteruskan.
  3. Pantang kalau setelah upacara, kegiatan meramu kayu tidak dilaksanakan. Itu sebabnya upacara ini tidak boleh sembarangan diselenggarakan tanpa maksud dan tujuan upacara yang sebenarnya.

Upacara meramu kayu sudah jarang ditemui dalam kehidupan masyarakat saat ini, padahal kegiatan ini tidak hanya sekedar ritual upacara belaka tetapi sarat akan nilai-nilai dan kearifan masyarakatnya dalam mengambil kayu di hutan, jadi tidak asal atau sembarang tebang, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga.

 

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga