AYAM SUDUR

Ayam Sudur adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat Melayu di kota Ranai, Kabupaten Natuna yang hingga kini  masih ditemui keberadaannya. Kesenian ini berbentuk tarian diiringi dengan gendang dan nyanyian. Jumlah  penari kesenian ini sebanyak dua puluh satu (21) orang terdiri ; enam (6) penari perempuan dan lima belas (15) orang penari laki-laki. Penari perempuan merupakan penari utama yang berada paling depan. Sedangkan penari laki-laki posisinya berada di belakang penari perempuan. Penari laki-laki tidak selamanya berada dibelakang, tetapi bisa sejajar dengan penari perempuan sesuai dengan lagu yang dilantunkan. Dan, apalbila semua penari berbaris sejajar, biasanya penari perempuan berada ditengah barisan, penari laki-laki berada di kiri, dan di kanan penari perempuan supaya kelihatanya  tampak lebih rapi. Oleh karena itu, penari kesenian ayam sudur jumlahnya ganjil supaya penari laki-laki dapat melindungi penari perempuan.

Gerakan tari kesenian ayam sudur bebas, bisake kiri, ke kanan, ke belakang dank e depan, tidak ada aturan tertentu seperti kesenian-kesenian lainnya. Kesenian ayam sudur dimainkan  di tempat terbuka  di atas tanah, tidak menggunakan panggung yang khusus, dan bisa dimainkan di siang hari, sore, maupun malam hari.

Dalam pementasan kesenian ayam sudur digunakan 4 buah gendang berbentuk bulat seperti gendang yang dimainkan dalam kesenian hadrah. Gendang ini terbuat dari kayu yang ditutupi dengan kulit kambing yang sudah dikeringkan. Penggunaan kulit kambing selain memudahkan dalam pemasangannya juga menghasilkan suara yang lebih nyaring jika dibandingkan dengan kulit lainnya seperti kulit sapi.

Mengenai asal mula kesenian ayam sudur, diperoleh dua versi; pertama, Bapak Ama (mantan pemain kesenian ayam sudur) mengatakan bahwa kesenian ayam sudur berasal dari Riau yang dibawa oleh pak Awang pada tahun 1968. Pak Awang adalah Melayu asli dari Pulau Tiga, Kecamatan Bunguran Barat-Natuna yang pada waktu itu beliau sering berkunjung ke Riau. Setelah beberapa kali Pak Awang pergi ke Riau, pulangnya beliau mengadakan pertunjukan kesenian ayam sudur di desa tempat kelahirannya yaitu Pulau Tiga.  Pada awal pertunjukan kesenian ayam sudur di Pulau Tiga , penampilannya masih sangat sederhana, baik segi pakaian maupun lain-lain sehingga masyarakat kurang berminat untuk menyaksikannya. Tetapi setelah beberapa kali pak Awang menampilkannya, kesenian ini mulai hidup dan disenangi oleh masyarakat setempat. Dan apabila ada acara pesta pernikahan kesenian ini selalu ditampilkan. Versi kedua mengatakan  bahwa kesenian ayam sudur berasal dari Kalimantan yang dibawa oleh Pak Rasyid pada tahun 1969 ke kota Ranai. Pak Rasyid orang Melayu asli dari Kalimantan yang sering berkunjung ke Ranai pada masa itu untuk menemui sahabat atau kerabatnya. Melihat kota Ranai dimalam hari cukup sepi, maka timbullah keinginan Pak Rasyid untuk membawa sebuah kesenian dari daerah asalnya yang diberi nama ayam sudur.

Mengenai jumlah penari, gerakan dan kostum yang digunakan oleh Pak Rasyid dalam kesenian ini tidak ada perbedaan dengan yang digunakan oleh Pak Awang. Perbedaaan hanya terdapat pada lagu yang dinyanyikan pada saat menari. Pak Rasyid memakai lagu  yaitu : awan mendung, cahaya naran dan cinta hampa. Sedangkan Pak Awang menggunakan lagu-lagu bernuansa Islam seperti tertera dibawah ini.

Lagu –lagu kesenian ayam sudur
Beberapa lagu yang terdapat didalam kesenian ayam sudur, yakni ;
1. Bismillah
2. Nahnu
3. Salatullah
4. Alaya Rosulullah
5. Ya Rabbana
6. Innama
7. Abdul Kemayang
8. Ya Latib
9. Unsurulislana
10. Watakum
11. Ayam sudur

Sumber : Buku Renjis (Jurnal Ilmiah Budaya dan Sejarah Melayu)
Penulis : Nuraini