Dari tradisi lisan yang tertutur dari mulut ke mulut, nama Batu Ampar, sebuah kawasan di sisi Selatan Pulau Batam yang terkenal dengan kawasan industrinya ini, juga tak luput memiliki hikayat laiknya kawasan lain seperti Kampung Agas, Duriangkang, Pulau Buluh dll.
Dalam sebuah literatur yang bertutur tentang cerita rakyat Kepulauan Riau yang ditulis Abdul Razak, disebutkan bahwa nama “Batu Ampar” diambil dari kata “batu yang terhampar” (baca: ampa). Konon ceritanya. Ada seorang lelaki kumal dan ceking yang hidup di wilayah geografis Kepulauan Riau. Selagi bujang, orang-orang memanggilnya si Badang. Perawakannya kecil, lengannya sepintas mudah patah dan kakinya seperti terkena penyakit lumpuh.
Singkat cerita, sedikit-demi sedikit si Badang tumbuh menjadi pria yang jujur, sederhana, suka berkelana dan perkasa. Dari Kepulauan Riau, ia pun berpindah-pindah, ke Bintan, Daik, Pulau Buluh hingga ke Tumasik (Singapura).
Di Tumasik, si Badang yang sakti bahkan sampai mewakili negeri Tumasik beradu kekuatan melawan orang kuat dari India. Orang kuat asal India itu menghadap Tuan Putri, penguasa Tumasik untuk menyerahkan semua hartanya kepada Tuan Putri apabila kalah dalam adu kekuatan. Tetapi, sebagai balasan, Tuan Putri harus menyerahkan Tumasik kepadanya jika dia berhasil menang dalam adu kuat dengan si Badang, yang jadi kepercayaan Tuan Putri.
Mengambil tempat di Pantai Timur Tumasik, persisnya di depan Pulau Sentosa, adu kekuatan pun dimulai. Orang kuat dari India itu pun memamerkan kekuatannya dengan mengangkat sebuah batu besar. Meski beratnya hampir setengah ton, ia mampu mengangkatnya hingga di atas kepalanya. Melihat itu, Tuan Putri gusar dan gugup, dalam hatinya ia terus berpikir yang tidak-tidak mengenai nasib negerinya jika si Badang kalah dalam pertandingan.
Hingga pada akhirnya giliran si Badang unjuk kekuatan. Ia menuju ke batu besar yang dapat diangkat oleh lawan tandingnya itu. Sebelum mengangkat batu itu, sejenak ia menghadap ke Gunung Ledang, lalu ke Selat Singapura. Lepas itu, dengan enteng ia mengangkat batu itu dan melambung-lambungkan menggunakan tapak tangan kanannya. Ia kemudian memindahkannya pula ke tapak tangan kirinya.
Sejurus berlalu, si Badang mengambil ancang-ancang dan sontak melembarkan batu besar berwarna hitam kemerah-merahan itu ke laut. Batu itu segera melesap ke udara dan akhirnya menghilang dari pandangan. Jadilah si Badang sebagai pemenang. Tuan Putri pun girang bukan main.
“Di manakah batu lemparan itu terjatuh?” tanya tuan Putri kepada si Badang. “Patik pikir batu itu jatuh bersepai (baca: pecah berserakan) di kawasan yang berjarak sekitar 10 mil laut dari sini pada sebuah daratan, tuanku,” jawab si Badang.
Merasa tidak puas, Tuan Putri mengirim utusan untuk mencari tahu tempat batu itu jatuh. Bersama si Badang, utusan itu tiba di bagian Utara sebuah pulau (kini dikenal dengan nama Batam). Kepingan-kepingan batu itu tersusun bagus dan indah sehingga membentuk hamparan batu. Dikatakanlah oleh utusan itu sebagai Batu Ampar (baca: batu ampa). Sejak itu, kawasan itu lama-lama menjadi dikenal dengan sebutan Batu Ampar hingga kini.