Bintan Buyu adalah sebuah desa di Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan. Daerah Bintan Buyu sendiri, secara administratif masuk ke kawansan Teluk Bintan dan telah terpilih sebagai pusat ibukota yang baru Kabupaten Bintan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan melalui sidang paripurna terbuka pada tanggal 8 Oktober 2003. Berdasarkan informasi yang disampaikan informan, pada masa lalu bintan mulai ramai dikunjungi sejak kedatangan sang Nila Utama dan Demang Lebar daun dari Bukit Siguntang (Palembang). Setelah memudarnya Kerajaan Sriwijaya, maka ada kecendrungan untuk membuka kawasan baru. Kedatangan Sang nila Utama disambut dengan baik oleh pimpinan masyarakat setempat (permaisuri) dan di angkat menjadi pemimpin yang baru. Sang Nila Utama menikah dengan Dang Sri Beni Puteri dari pemimpin masyarakat setempat (anak bunda permaisuri Bintan).
Untuk memperluas daerah kekuasaannya, Sang Nila Utama membuka kawasan dari yang dinamakan dengan sebutan Temasik(Tumasik, sekarang Singapura). Nila Pahlawan menjadi orang kepercayaan Sang Nila Utama untuk memimpin di Bintan. Nila Pahlawan yang juga berasal dari Bukit Siguntang menikah dengan Dang Empuk (Wan Pok) kerabat dari permaisuri Bintan. Sementara itu, Krisna Pendeta menikah dengan Dang Menini (Melini). Makam dari Wan (Dang) Pok atau Wan Empuk (istri Nila Pahlawan), makam Wan Menini atau Dang Melini (istri Krisna Pendeta), makam permaisuri Bintan (bundanya Dang Sri Beni), makam Dang Sri Beni (isteri Sang Nila Utama, dan makam Tok Telanai (putera Demang Daun Lebar) sekarang masih banyak dijumpai di Bintan Buyu. Makam- makam yang dikeramatkan inilah pada akhirnya yang menjadi cikal bakal terjadinya tradisi ziarah kubur di Bukit Batu pada mayarakat Melayu Kbupaten Bintan.
Pada setiap tanggal 27 Rajab, bersempena dengan peringatan hari isra Mi’raj masyarakat Melayu di bukit Batu, Bintan Buyu Kabupaten bintan menyelnggarakan upacara selamatan yang dipusatkan di kompleks makam bukit Batu. Biasanya tradisi ini disebut dengan Hari Ziarah Besar ke Bukit Batu. Ada juga informan lain yang menyebut tradisi ini dengan nama Gawai Bunga Telur. Pada hari ziarah besar di kompleks makam Bukit Batu, masyarakat Melayu yang bertempat tinggal disekitar Gunung Bintan menyempatkan diri untuk bertandangke Gunung Bintan guna mengikuti tradisi ziarah besar. Banyak diantar Pengunjung itu adalah orang-orang setempat yang telah lama pergi untuk merantau seperti dari Tanjunguban, Tanjungpinang, Batam, Jakarta dan Kijang. Bahkan, orang-orang yang berasal dari mancanegara seperti Singapura dan Malaysia sengaja datang pada waktu tersebut. Mereka membawa berbagai perlengkapan antara lain seperti, nasi kuning yang dihiasi telur yang berwarna merah dengan untaian bunga yang beraneka warna (bunga telur). Nasi kuning yang dibawa dalam talam atau rantang kemudian diletakkan pada tempat tertentu yang telah disediakan. Tradisi upacara ritual selamatan ini tidak hanya untuk syukuran, tetapi juga meminta berkah sekaligus mendoakan agar orang-orang yang telah meninggal itu, arwahnya dapat diterima di sisi Allah SWT.
Inti dari kegiatan ini adalah menziarahi makam-makam yang berada di Bukit Batu, dengan mengirimkan doa buat leluhur, pembacaan doa selamat (tolak bala), menaikkan panji-panji kain warna kuning, menabur beras kunyit di sekitar kompleks makam, dan menunaikan nazar.Tradisi ziarah kubur dimulai sekitar pukul 10.00 pagi (waktu setempat) setelah pengunjung cukup banyak. Diawali dengan tampilnya beberapa orang yang dituakan diantaranya adalah pawing kampong bukit batu, yang sejak semula sudah duduk ditempat pelaksanaan upacara bersama tokoh adat dan alim ulama. Beliau pelan-pelan membesarkan api penebaran (tempat bara), membakar kemenyan sehingga asap tipis berkepul-kepul sambil membacakan doa-doa. Lalu menaburkan beras kunyit ke pusara Wan Empuk, Wan Menini, Wan sri Beni dan pusara-pusara lainnya. Selanjutnya pemimpin upacaara mengambil beberapa helai kain berwarna putih, kuning (celupan dari sari kunyit) da nada pula yang berwarna hijau. Masing-masing kain berukuran 1,5 x 1 meter itu digantungkam, diikat atau diselipkan pada galah atau kayu yang sudah disediakan pada tempat itu. Kain-Kain tersebut ada juga yang diikatkan pada ranting kayu yang tumbuh disekitar kompleks mkam. Aktivitas menggantung, mengikat dan sebagainya itu disebut menaikkan panji-panji.
Sumber : Renjis ( Jurnal Ilmiah Budaya dan Sejarah Melayu)
Penulis : Novendra