Bukan saja ajaran Hindu-Budha yang mempengaruhi kebudayaan Melayu, animisme dan dinamisme juga menjadi bagian dari kepercayaan orang Melayu masa lalu. Animisme dan dinamisme telah menjadi bagian dari kehidupan orang Melayu sebelum ajaran Hindu-Budha masuk ke alam Melayu. Setelah ajaran Islam masuk, kepercayaan animisme dan dinamisme masih tersisa dalam sebagian kehidupan orang Melayu, sehingga mengakibatkan terjadi sinkretis, dimana orang-orang Melayu Islam dalam kehidupannya menyesuaikan dan memadukan kepercayaan lokal yang berbau animisme dan dinamisme dengan ajaran Islam. Kepercayaan lokal disatukan dengan nilai-nilai agama Islam yang selanjutnya menjadi salah bagian dari kebudayaan Melayu dibeberapa tempat.
Di Lingga kepercayaan lokal dapat kita temukan dalam kebudayaan sebagian masyarakat Melayu Lingga. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang menunggu tempat tertentu mereka yakini bisa memberikan pertolongan dan bantuan. Untuk meminta pertolongan dan bantuan diperlukan sesajen dari bahan tertentu. Seperti gunung Daik yang sejak lama dipercayai oleh sebagian masyarakat sebagai tempat tinggal makhluk halus yang disebut orang bunian. Kepercayaan itu diwariskan turun temurun sejak zaman dahulu melalui cerita rakyat yang penuh dengan kisah mistis. Bahkan dalam Syair Sultan Mahmud Syah (Sultan Mahmud Muzzafar Syah 1841-1857) dikisahkan tentang cerita adanya puteri yang tinggal di gunung Daik. Sebagian mereka yang masih terpengaruh dengan kepercayaan lokal turun temurun meyakini adanya kematian palsu, dan mereka yang mati palsu itu sebenarnya berpindah ke alam orang Bunian untuk tinggal di sana. Kepercayaan seseorang semakin menguat dengan adanya pengalaman-pengalaman aneh seperti penampakan, mimpi-mimpi memasuki alam bunian dan ditokok tambah oleh cerita dukun-dukun yang mengisahkan pengalamannya berhubungan dengan alam ghaib. Beberapa keluarga di Lingga meyakini mereka turunan dari kembar buaya, jika mengadakan acara adat istiadat seperti pernikahan perlu menghanyutkan sesaji ke sungai atau laut untuk memberi tahu kepada makhluk halus buaya sebagai kembaran mereka. Kepercayaan itu semakin menguat karena mereka yang kembar buaya kadang tidak sadarkan diri dan bertingkah aneh. Tingkah aneh orang yang tidak sadarkan diri dianggap mirip buaya sehingga mereka semakin yakin orang tersebut mempunyai kembar buaya.
Kepercayaan lokal yang telah turun-temurun tentang makhluk halus yang menguasai wilayah tertentu sampai kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Lingga. Sebagian meyakini makhluk halus yang mereka sebut orang bunian bisa memberikan pertolongan dan menjaga kampung halaman mereka. Agar orang bunian bisa membantu mereka untuk menjaga kampung diperlukan ritual pemanggilan. Di desa Mentuda yang berada diwilayah Kecamatan Lingga terdapat suatu ritual yang berhubungan dengan memanggil orang Bunian yang disebut dengan makan-makan di Bukit Datuk yang dilaksanakan pada awal bulan Muharram. Desa Mentuda satu daratan dengan pusat ibu kota Kecamatan di Kelurahan Daik. Karena belum adanya pembangunan infrastruktur jalan darat, diperlukan transportasi jalur laut untuk menuju ke pusat ibu kota Kecamatan. Jika menggunakan perahu cepat, lebih kurang empat puluh lima menit waktu tempuh dari Desa Mentuda mencapai pelabuhan Penarik yang berdekatan dengan Ibu Kota Kecamatan.
Tradisi makan-makan di bukit datuk di Desa Mentuda telah sejak lama dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Tradisi ini bagian dari kepercayaan lokal yang diwariskan sejak turun temurun. Dalam cerita rakyat di Desa Mentuda, tradisi ini telah ada sejak orang-orang Melayu mulai datang ke daratan pulau Lingga. Konon sebelum orang Melayu datang, di wilayah pulau Lingga dihuni terlebih dahulu oleh Orang Laut yang tinggal digunung Daik. Di Gunung Daik mereka membuat suluh untuk mencari hasil laut di malam hari. Orang-orang Melayu selanjutnya berhijrah ke pulau Lingga dan tinggal diberbagai tempat termasuk di Desa Mentuda. Sejak orang Melayu tinggal di Desa Mentuda mereka telah melakukan ritual makan-makan di Bukit Datuk.
Ritual makan-makan dibukit Datuk yang dilaksanakan setiap awal bulan Muharram bertujuan untuk bele kampung sehingga dijauhkan dari bala bencana. Setelah masyarakat bersepakat menentukan hari, mereka berkumpul di satu tempat dan pergi menuju ke atas bukit datuk. Dalam melaksanakan ritual, anak diluar nikah dan wanita yang tengah datang bulan dilarang naik ke bukit datuk. Anak diluar nikah dianggap sesuatu aib dan wanita yang datang bulan dianggap tidak bersih sehingga tidak disukai orang bunian yang dianggap makhluk baik dan bersih. Setelah sampai ke bukit datuk, bomoh membakar kemenyan. Masyarakat yang hadir mempersiapkan makanan yang telah dibawa berupa pulut kuning dengan lauk-pauk. Selanjutnya setelah membakar kemenyan bomoh dengan suara perlahan tanpa didengar oleh seroangpun meminta terkabul agar orang bunian yang berada di gunung Daik untuk hadir bersama. Setelah membakar kemenyan bomoh melambai-lambaikan kain putih atau kuning ke arah Bukit Tangga Sembilan yang berada didekat gunung Daik untuk memanggil orang bunian. Hal ini dilakukan agar orang Bunian mengetahui dan datang menghadiri jamuan bersama masyarakat. Setelah itu bomoh dan masyarakat makan bersama-sama. Dengan datangnya orang Bunian masyarakat dan kampung dianggap telah dilindungi sehingga dijauhkan dari bala bencana dan bahaya di tahun baru.
Setelah selesai mengadakan jamuan makan bersama. Masyarakat kadang mengambil batu kecil yang disebut dengan batu lingge yang menempel di batu dengan mencungkil menggunakan kukur jari. Pengambilan batu ini harus menggunakan minyak wangi. Batu lingge dipercaya membawa tuah tertentu dan bisa dijadikan jimat. Setelah masyarakat mengambil batu lingge mereka kembali menuju kampung.
Perlengakapan dalam makan-makan dibukit datuk:
• Kemenyan untuk dibakar
• Kain untuk melambai-lambai memanggil orang bunian
• Minyak wangi non alcohol untuk memudahkan mengambil batu lingge
• Pulut Kuning dan lauk pauk ditambah makanan ringan untuk disantap mereka yang mengikuti ritual
Tahapan pelaksanaan :
• Masyarakat berkumpul di rumah bomo menuju ke Bukit Datuk
• Membakar kemenyan di batu Lingge
• Membaca mantera meminta datangnya orang Bunian
• Melambaikan kain memanggil orang bunian
• Makan bersama
• mengambil batu kecil yang disebut batu lingge untuk dijadikan jimat
Makne : Obat dan penawar, silaturrahmi dan kebersamaan.