Tepuk Tepung Tawar adalah suatu adat di negeri-negeri Melayu, khususnya di Kepulauan Riau yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak masa raja-raja dahulu hingga saat ini.
Upacara tepung tawar ini sebenarnya diadopsi dari Ritual Hindu yang sudah lebih dulu dianut masyarakat Indonesia. Ketika para pedagang dari Gujarat dan Hadralmaut membawa ajaran Islam ke kawasan ini sekitar abad ke-7 masehi, mereka berhadapan dengan kepercayaan animisme (kepercayaan pada kehidupan roh) dan dinamisme (kepercayaan pada kekuatan gaib benda-benda) yang direstui agama Hindu. Kepercayaan ini sangat kuat disetiap lapisan masyarakat saat itu.
Salah satunya adalah upacara tepuk tepung tawar, upacara ini menyertai berbagai peristiwa penting dalam masyarakat, seperti kelahiran, khitanan, perkawaninan, pintu rumah, pembukaan lahan baru, jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya, dan sebagainya.
Dalam perkawinan, misalnya, Tepuk Tepung Tawar adalah simbol pemberian dan do’a restu bagi kesejahteraan kedua pengantin, disamping sebagai penolak bala dan gangguan.
Orang tua-tua mengatakan:
Yang disebut Tepuk Tepung Tawar
Menawar segala yang berbisa
Menolak segala bencana
Mendinding segala bala
Menepis segala bahaya
Dalam adat Istiadat Melayu, Tepung Tawar artinya untuk menghapuskan atau membuang segala penyakit. Sumber lain menyebutkan tepung tawar dilakukan sebagai perlambangan mencurahkan rasa kegembiraan dan sebagai rasa syukur atas keberhasilan, hajat, acara atau niat yang akan atau yang telah dapat dilaksanakan, baik terhadap benda bergerak (manusia) maupun benda mati (yang tidak bergerak).
Adapun peralatan atau kelengkapan tepung tawar yang digunakan oleh masyarakat Melayu secara garis besar terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu:
– Ramuan Penabur
– Ramuan Rinjisan
– Pedupaan (perasapan)