SULTAN MAHMUD SYAH III

Pada tahun 1761, Sultan Mahmud Syah III, menduduki tahta Kerajaan Riau-Johor, sebagai Yamtuan Besar Riau. Sementara itu, Yamtuan Muda Daeng Kamboja wafat, penggantinya sebagai Yamtuan Muda Riau IV adalah Raja Haji, putera Opu Daeng Celak. Pada masa Raja Haji menjabat Yamtuan Muda Riau IV dan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, membangun Biram Dewa di Sungai Riau Lama. Pada tahun 1777, Raja Haji membangun istana Kota Piring Sebagai tempat kedudukan Yamtuan Muda Riau. Sebagai menjalankan amanah selaku pejabat kerajaan yang menjunjung tinggi kepercayaan Sultan, maka Raja Haji kemudian memperluas pengaruh Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang hingga ke kerajaan-kerajaan di alam Melayu. Raja Haji dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh kerajaan, juga menjejakkan kakinya di Trenggano, Pahang, Johor, Selangor. Kedah, Langkat, Inderagiri, Jambi, Mentok, Pontianak, Mempawah dan lain-lain.

Beliau membantu Yang Dipertuan Besar dalam melanjutkan politik Daeng Kamboja yang tidak mau berkompromi dengan Belanda di Melaka. Perang dengan Belanda kembali pecah pada tahun 1782. Dua tahun kemudian dengan kekuatan 13 kapal perang dan 1500 tentara Belanda mengepung dan menyerang Riau tapi serangan ini tidak berhasil memukul Riau. Belanda mundur ke Melaka, setelah kapal pemimpinnya karam dan meledak di lautan. Raja Haji kemudian melakukan serangan balik ke Melaka. Beliau berlabuh di Teluk Ketapang di sebelah selatan Melaka, dengan kekuatan lebih dari 1000 orang tentara orang Melayu, Bugis dan Minangkabau, juga bala bantuan dari Sultan Ibrahim di Selangor. Pengepungan Melaka selama empat bulan, sampai datangya bala bantuan dari Batavia yang terdiri dari enam kapal, 326 senjata dan 2130 tentara. Bala bantuan ini berlabuh di Melaka pada waktu subuh bulan juni 1784. Pasukan Belanda ini melakukan serangan yang mengejutkan banteng pertahanan Melayu. Raja            Haji gugur dalam peperangan ini, sebagai pahlawan Bangsa.

Setelah Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV gugur pada tahun 1784, Sultan Mahmud Syah III mulai mendapat tekanan Kompeni Belanda yang berusaha menanamkan pengaruhnya dalam kerjaan Melayu Riau-Johor dan Pahang dengan tujuan dapat leluasa berdagang dan berlayar di Selat Melaka dan diperairan sekitarnya serta mudah mengawasi kepentingan mereka di daerah tersebut. Kedatangan pasukan Belanda dibawah komandan Admiral Jacob Pieter van Braam pada tanggal 10 oktober 1784 dimaksudkan untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap Sultan Mahmud Syah III.

Semangat juang rakyat Riau tidaklah luntur, walaupun ada perjanjian 10 November 1784. Sultan Mahmud Syah III berupaya keras untuk mengusir Belanda dari Riau. Sebuah siasat yang dilakukan Sultan Mahmud Syah III, adalah mencoba menghubungi Raja Ismail yang saat itu menjadi  Raja lanun-lanun atau di kenal sebagai Raja Tempasok dengan daerah operasinya disekitar perairan Sulu-Luzon. Raja Ismail bergerilya di laut, karena rasa tidak senang terhadap sikap Belanda. Akibat Raja Ismail melakukan gerakan pengacauan pelayaran dan merampas barang dagangan Kompeni Belanda. Kehadiran seorang Residen Belanda di Riau tanggal 19 Juni 1786 tidak disenangi para pembesar Kerajaan Riau-Johor.

Surat Sultan dikirim tahun 1787 kepada Raja Tempasok di selatan Mindanao (Ryan, 1966:76). Sultan Mahmud Syah III minta Kepada Raja Tempasok untuk menyerang Kompeni Belanda di Riau melalui Laut. Permintaan Sultan Mahmud Syah III disambut baik oleh Raja Tempasok. Kemudian Raja Tempasok sampai keperairan Tanjungpinang. Sultan Mahmud Syah III, mulai memainkan perannya dengan mengatur siasat, agar Kompeni Belanda tidak mencurigai kedatangan kapal perang Tempasok. Kemudian Sultan Mahmud Syah III melaporkan pada Residen. Bentuk laporan dirancang sedemikian rupa, agar tidak menimbulkan kecurigaan Residen terhadap kehadiran angkatan laut Tempasok diperairan Riau Baginda Sultan Mahmud Syah III menghadap Residen di Tanjungpinang, dengan laporannya Siasatnya mengatakan kepada Residen bahwa seorang Raja. Mereka terdampar karena dipukul angina ribut. Mereka juga ingin membeli beras dan akan memperbaiki kapal-kapal yang rusak. Mereka telah meminta izin untuk merapat ke pantai dan selanjutnya berencana untuk meneruskan pelayarannya ke Selat di Kalimantan. Upaya Sultan memberikan keterangan tersebut diterima baik oleh Residen dan tidak menimbulkan kecurigaan.

Pihak Belanda tidak menduga atas siasat Sultan Mahmud Syah III untuk membiarkan kapal perang Tempasok untuk merapat ke pantai. Belanda juga tidak menduga bahwa Sultan Mahmud Syah III telah melakukan hubungan dengan Tempasok dan lainnya itu untuk menyerang Belanda secara mendadak, baik dari darat maupun laut. Sultan Mahmud menjadi pimpinan tertinggi dalam penyerangan itu. Bahwa kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh angkatan perang Tempasok yang sudah bergabung dengan pasukan Riau di bawah kendali Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah. Maka pada 13 Mei 1787, angkatan perang Tempasok menyerang secara mendadak benteng pertahanan Belanda di Tanjungpinang. Sementara dari darat pasukan Riau menyerang pula. Perang tersebut menimbulkan korban jiwa yang banyak dipihak Belanda. Di Tanjungpinang. Sementara dari darat pasukan Riau menyerang pula. Perang tersebut menimbulkan korban jiwa yang banyak dipihak Belanda. Pada akhirnya Residen Belanda pun menyerahkan diri kepada komandan angakatan laut Tempasok.

Sultan Mahmud Syah III merasa khawatir juga atas serangan balasan Kompeni Belanda ke Riau. Sultan bermusyawarah dengan para pembesar Kerajaan untuk mencari daerah-daerah yang aman dalam membangun Kerajaan untuk mencari daerah-daerah yang aman dalam membangun Kerajaan. Kesepakatan jatuh ke Daik – Lingga yang terletak dipulau Lingga, lebih kurang 2 km dari laut. Perahu-perahu musuh tidak mudah masuk ke Daik, karena melayari sungai Daik sangat ditentukan keadaan pasang-suurut Perahu dapat melayari sungai dalam keadaan air pasang dan apabila musim banjir, sungai tidak mudah dilayari, karena arusnya sangat deras. Sultan Mahmud Syah III, memperkirakan Daik cukup aman untuk dijadikan pusat pemerintah Kerjaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Akhirnya, Sultan Mahmud Syah III bersama para pembesar, kelurga, dan angkatan pengawal kerajaan bersama-sama meninggalkan Riau untuk menetap di Lingga.

Pada bulan Februari 1802 Bendahara Abdul Majid Pahang berusaha membujuk Raja Ali dan Engku Muda Muhammad bersedia menghadap Sultan Mahmud Syah III di Lingga. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah berhasil mendamaikan Raja Ali dan Engku Muda Muhammad. Perjanjian yang dinamai sumpah setia Melayu-Bugis makin wujud dilaksanakan. Persaudaraan dan persatuan pun diwujudkan melalui perkawinan, sehingga pembauran semakin menjadi indah dalam kerajaan. Sejalan itu maka secara berangsur-angsur persahabatan orang-orang Bugis semakin erat. Konflik yang terjadi antara orang-orang Melayu dengan orang-orang Bugis, adalah akibat adanya upaya belanda untuk memecah belah antara kedua suku Melayu dan Bugis di Riau. Perdamaian yang terjadi di Riau, menambah kekuatan kerajaan untuk mengatur dan menyusun kekuatannya untuk menghadapi kemungkinan adanya intervensi Inggris dan Belanda di Kerajaan Lingga, Riau, Johor dan Pahang. Sultan Mahmud Syah III memulai membangun Lingga dan melanjutkan pembangunan di daerah-daerah lainnya untuk mensejahterakan rakyatnya.

Baginda wafat di Daik-Lingga pada 12 Januari 1812, dalam usia 51 tahun dimakamkan di halaman Masjid Jami’ Daik, yang diberi gelar “Marhum Masjid”.

SUMBER : Buku Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah