Seorang antropolog bernama Kluckhouhn mengemukakan, bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu wujud ideal berupa ide-ide atau gagasan, berwujud sistem sosial atau perikelakuan dan yang berwujud material yakni berupa kebendaan. Setiap masyarakat suku bangsa tentu memiliki unsur kebudayaan dan tiga wujud kebudayaan di atas. Pola-pola hidup masing-masing masyarakat suku bangsa sebagai unsur kebudayaan dan kearifan lokal adalah salah satu hal yang membedakan antar masyarakat suku bangsa di Indonesia. Perbedaan pola-pola hidup dapat dilihat dari pola organisasi sosialnya, dapat dilihat dari tingkah laku budayanya dan dapat dilihat pula dari benda-benda budaya yang dihasilkannya. Dari ketiga hal tersebut, ciri yang menonjol dari perbedaan masyarakat suku bangsa dan kebudayaan yang ada di Indonesia adalah terletak pada organisasi sosial yang berlaku pada masing-masing masyarakat suku bangsa. Masing-masing kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai, norma, aturan dan pengetahuan masing-masing masyarakat suku bangsa. Kebudayaan pada masing-masing masyarakat suku bangsa terwujud dalam tingkah laku budaya dan pada bentuk-bentuk pranata sosial yang berlaku. Dengan memahami tingkah laku budaya dan pranata sosial, maka dapat diinventarisasi model kebudayaan pada masing-masing masyarakat suku bangsa. Pranata sosial adalah sistem peranan dan norma yang terdapat dalam interaksi manusia sebagai bentuk suatu aktivitas khusus dari manusia yang bersangkutan. Pranata sosial biasanya sangat berpengaruh pada tindakan-tindakan yang terwujud, karena dalam pranata sosial tertata status dan peran dari warga masyarakat.
Pengorganisasian peran dan status pada masing-masing masyarakat suku bangsa menunjukkan suatu kekuatan sosial bangsa Indonesia yang sangat majemuk serta multikultur, untuk itu perlu dilakukan inventarisasi terhadap bentuk organisasi sosial yang ada pada masing masing masyarakat suku bangsa sebagai ciri yang menonjol dari perbedaan masyarakat suku bangsa dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Kegunaan inventarisasi terhadap organisasi sosial suku bangsa di Indonesia adalah sebagai sarana dalam menerapkan berbagai program pembangunan pada masing-masing masyarakat suku bangsa karena organisasi sosial merupakan dasar bagi masyarakat untuk berbagi peran dan status sehingga pola-pola kehidupan yang berlaku dapat tertata baik secara tradisional maupun nasional, apalagi sejak era reformasi yang telah merubah sistem manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik yang sangat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri.
Organisasi sosial (social organization) pada suatu masyarakat bukanlah sekedar sejumlah orang yang mendiami sebidang tempat. Jika digunakan sebagai kata benda, maka organisasi sosial berarti cara membagi para anggota masyarakat ke dalam kelompok-kelompok beserta tata cara tetap yang mereka ciptakan. Jika dipakai sebagai kata kerja, maka organisasi sosial merupakan suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap, yang kita sebut sebagai lembaga sosial atau social institution (Horton dkk, 1999;211). Kelompok dan hubungan peran dalam organisasi sosial terutama didasarkan pada kekerabatan dan perkawinan (Keesing, 1992;208).
Organisasi sosial lokal tradisional memiliki berbagai kedudukan (status) dan peran (role) di dalamnya, kemudian ada individu yang bertindak sebagai ”pemimpin” atau ”pengatur”. Dialah yang memimpin pertemuan-pertemuan, menentukan saat-saat untuk melakukan aktivitas tertentu, menentukan pembagian kerja dalam aktivitas tersebut dan sebagainya. Adanya aktivitas-aktivitas bersama sejumlah individu yang relatif tetap inilah yang kemudian memunculkan kesan adanya sejumlah individu yang mengelompok dalam suatu kesatuan tertentu yang kemudian disebut ”perkumpulan tradisional, lokal”. Ketika organisasi ini bertambah besar, jumlah status dan peran di dalamnya biasanya juga akan bertambah banyak dan organisasi ini kemudian bertambah kompleks sifatnya. Organisasi sosial lokal ada yang formal, ada pula yang informal, walaupun pada awalnya semua organisasi sosial lokal tradisional semacam ini bersifat informal, artinya, organisasi semacam itu tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, tidak memiliki aturanaturan tertulis berkenaan dengan hak, kewajiban serta hukuman-hukuman yang dapat dikenakan pada anggotanya yang melanggar peraturan. Sifat informal membuat organisasi sosial lokal tradisional tampak begitu luwes dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Organisasi sosial juga mencakup pranata-pranata yang menentukan kedudukan lelaki dan perempuan dalam masyarakat dan dengan demikian menyalurkan hubungan pribadi mereka. Kategori ini pada umumnya dibagi lagi dalam dua jenis atau tingkat pranata-pranata, yaitu pranata yang tumbuh dari hubungan kekerabatan dan pranata yang merupakan hasil dari ikatan antara perorangan berdasarkan keinginan sendiri. Struktur-struktur kekerabatan mencakup keluarga dan bentuk kelompok yang merupakan perluasan keluarga seperti suku atau klen. Ikatan di antara orang yang bukan kerabat melahirkan banyak macam bentuk pengelompokan mulai dari ”persaudaraan sedarah” dan persahabatan yang dilembagakan sampai ke berbagai macam ”perkumpulan” rahasia dan bukan rahasia (Ihromi, 1999;82).