Lingga dikenal sebagai bunda tanah melayu dan daerah yang bersejarah. Lingga dalam perjalanan sejarah pernah menjadi pusat kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga (1787-1830) dan kerajaan Lingga-Riau (1830-1900). Sebagai daerah yang bersejarah Lingga juga menjadi bagian dari pusat tamadun Melayu. Di daerah Lingga merecup subur berbagai kebudayaan Melayu yang kemudian tumbuh berkembang memperkaya khazanah kebudayaan alam Melayu.
Sebagai bunda tanah Melayu, Lingga kaya dengan berbagai khazanah kebudayaan Melayu yang telah ada sejak zaman silam, dan sebagian sampai kini masih lagi dilestarikan oleh masyarakat Melayu. Sebagian kebudayaan itu ibarat kata pepatah tak lekang dipanas tak lapuk dihujan. Sebagian kebudayan yang masih bersebati dan dilestarikan itu, diwariskan dari para leluhur dan orang-orang tua dari kalangan cerdik pandai yang mengandungi nila-nilai luhur yang tinggi dan mulia. Nilai-nilai luhur itulah yang kemudian menjadi pedoman orang Melayu Lingga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Di Lingga terdapat berbagai makanan tradisional Melayu yang telah lama ada ditengah-tengah masyarakat. Makanan tradisional yang ada, sebagian hanya dinikmati pada waktu tertentu. Diantara makanan khas tradisional Melayu terdapat kue khasidah atau hasidah yang menjadi makanan khas dalam proses makan berhadap pengantin dalam adat istiadat perkawinan Melayu. Kue khasidah sejak lama telah dikenal dalam budaya Melayu Lingga. Di lingkungan istana Kerajaan Lingga-Riau, kue ini bukan saja menjadi santapan khas pengantin tetapi juga dihidangkan untuk orang-orang tertentu dari golongan yang setara dengan bangsawan.
Dalam Kitab Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Raja Ali Haji lewat syair mengisahkan adanya kue hasidah yang dihidangkan kepada golongan orang yang bergelar said pada majelis pernikahan Upu Daing Celak dengan Tengku Mandak. Mengenai kue hasidah, Raja Ali Haji mengisahkan,
Apabila sampai waktunya saatnya
Masuk ke dalam perhimpunannya
Berhimpunlah orang besar kecilnya
Masing-masing dengan kerjanya
Ada yang menghias istana yang indah
Ada yang membuat tambul burdah
Ada yang membuat penganan juadah
Tuan Said dibuatkan hasidah
Dalam adat istiadat pernikahan Melayu kue khasidah menjadi kue utama yang wajib ada dalam santapan penutup makan berhadap pengantin. Kue khasidah diletak ditengah-tengah kue lainnya. Kue khasidah yang dihidangkan bermakna “Selalu menjaga keutuhan rumah tangga dalam suka, duka dan bertanggung jawab, juga saling menghargai antara suami dan isteri.” Menurut Zimarty dan Fadlillah (2018:6)
Kue khasidah merupakan jenis kue yang utama dan wajib ada pada hidangan. Kue ini pun disebut dengan kue tebus yang apabila dicicipi oleh pengantin, maka kue ini harus ditebus dengan jumlah uang yang tidak ditentukan besarannya. Kue-mueh pengantin disediakan oleh pihak pengantin perempuan untuk dihidangkan kepada pengantin laki-laki.
Dalam adat istiadat makan berhadap, setelah pengantin laki-laki menyantap hidangan nasi dan lauk pauk, dilanjutkan menyantap kue-mueh yang telah dihidangkan. Kue Khasidah pertama kali dicicipi pengantin laki-laki dengan mengambil sedikit bagian bawah kue dan seterusnya ke bagian atas. Hal ini dilakukan bermakna suami sebagai kepala rumah tangga memimpin isteri menuju ke puncak kebahagiaan yang penuh rintangan dan cobaan. Setelah mencicipi pengantin laki-laki menyelipkan uang sesuai keinginan di bawah piring kue khasidah, yang bermakna uang tebusan. Uang ini dihadiahkan kepada Mak Inang pengantin yang telah melayani sebaik mungkin pengantin wanita dalam acara pernikahan. Setelah menyantap kue khasidah pengantin melanjutkan menyantap kue-mueh lainnya.
Di Lingga masih dapat ditemukan beberapa orang yang masih pandai membuat kue khasidah, diantaranya Darwani ibu rumah tangga yang berumur lebih kurang 53 tahun, tinggal di Kampung Seranggung, Kelurahan Daik, Kecamatan Lingga. Menurut Darwani, Beliau mendapat pengetahuan membuat kue khasidah dari Hawa ibu kandungnya. Ibu Kandungnya meninggal pada tahun 2014 pada usia lebih kurang 78. Siti Hawa pada masa hidupnya menerima pemesanan membuat kue khasidah untuk santapan pengantin. Siti Hawa mendapatkan pengetahuan membuat kue khasidah dari ibu kandungnya Zubaidah. Zubaidah semasa hidupnya menerima pesanan membuat kue khasidah dan meninggal pada tahun 70-an, pada usia lebih kurang 70 tahun.
Resep dan cara membuat kue Khasidah
Bahan-bahan yang diperlukan sebagai berikut:
1. 100 gr Tepung Terigu
2. 100 gr Gula Pasir
3. Susu kental manis secukupnya
4. Minyak sapi secukupnya
5. Cengkeh sebagai penghias kue
6. Bawang goreng pengganti cengkeh jika tidak ada
Cara membuat sebagai berikut:
1. Hidupkan kompor terlebih dahulu, campurkan semua bahan di atas ke dalam panci dan letakkan di atas kompor. Aduk sesekali adonan sampai matang.
2. Diamkan adonan yang sudah matang beberapa menit sampai hangat, lalu siap dibentuk. Dulunya untuk membentuk kue khasidah, tidak menggunakan alat tertentu, tangan si pembuat kue lah yang berkreasi, hanya saja sekarang pembuat kue khasidah menggunakan alat jepit khusus, untuk membentuk kue khasidah agar bentuknya terlihat lebih rapi dan menarik. Sebagai pemanis kue yang sudah dibentuk biasanya hiasi dengan cengkeh yang ditusukkan pada tiap sekeliling kue atau jika tidak ada cengkeh biasanya pembuat kue mengganti hiasan cengkeh dengan bawang goreng yang ditaburi di sekeliling kue khasidah ini. Untuk warna, kue ini berwarna putih berasal dari campuran Susu Kental Manis.
Peralatan-peralatan yang digunakan untuk membuat kue khasidah ini, pada umumnya sama dengan membuat kue lainnya, yaitu menggunakan kompor dan panci sebagai wadahnya dan penjepit kue. Untuk penjepit kue disesuaikan kebutuhan, zaman dulu untuk membentuk kue khasidah tidak menggunakan penjepit melainkan dibentuk dengan ketelatenan tangan pembuat itu sendiri.
Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga