Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) merupakan Sultan Riau pertama yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Pada masa Pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, daerah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga meliputi:
1. Pulau Lingga dan pulau-pulau sekitarnya yang terletak di sebelah barat pulau Tamiang dan pulau sebelah barat Selat Sebuaya
2. Di pulaua Sumatra ialah pulau-pulau yang terletak sebelah timur dan barat selat durai dan pulau-pulau yang terletak di sebelah barat selatan Riau sebelah selatan Singapura dan Pulau Bintan
3. Pulau-pulau Anambas yang diperintah orang kaya Jemaja, pulau-pulau anambas kecil yang diperintah Pangeran Siantan, Pulau Natuna Besar dibawah pemerintahan orang kaya Bunguran, Pulau Natuna sebelah utara dibawah orang kaya pulau Laut, pulau-pulau Natuna Selatan dibawah orang kaya Serasan, Pulau Tambelan dibawah Datuk Petinggi kemudian dibawah datuk Kaya.
4. Daerah Indragiri Hilir bagian hilir, kuala Gaung, Kuala Sepat dan Retih.
Pada masa pemerintahannya, juga disepakati perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 30 September 1868. Isi perjanjian tersebut antara lain :
1. Seluruh daerah Lingga Riau diperintah oleh Residen dibantu oleh seorang Asisten Residen. Residen bertempat di Tanjungpinang dan Asisten Residen di Daik Lingga
2. Beberapa kepenghuluan dan kebatian dibawahi oleh seorang Amir.Pengangkatan seorang amir ditentukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
3. Datuk-datuk Kaya dinaikkan Belanda pangkat dan kedudukannya menjadi Amir.
4. Amir-amir ini berada dibawah seorang pejabat Belanda yang disebut Countrouler (Kontelir)
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) mengeluarkan kebijakan kerajaan dengan memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat. Berkaitan dengan program kerjanya tersebut, pada tahun 1860 salah satu usahanya adalah beliau menggalakkan penanaman “sagu rumbie” karena tanaman ini sangat sesuia dengan kondisi tanah di Daik-Lingga. Karena sagu dapat dijadikan bahan makanan pokok jika sukarnya memasukkan beras. Bibit sagu didatangkan dari Serawak. Awalnya, sebelum menggalakkna rakyat menanam sagu, Sultan pernah mencoba menggalakkan penanaman padi. Namun hasilnya tidak memuaskan. Karena itulah kemudian sultan memutuskan untuk membuka perkebunan sagu agar rakyatnya bisa mendapatkan bahan makanan pokok utama disamping beras. Pertimbangan lain, sagu pada kenyataannya lebih mudah tumbuh subur di Lingga dan perawatannya pun tidak sulit. Perkebunan sagu di lingga masa itu antara lain di Desa Melukap, Desa Panggak Laut, Kampung Musai, Kampung Pelanduk, hingga Desa Nereke.
Untuk mengolah sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II mendirikan pabrik sagu di kampong Pahang daik Lingga. Ssebagai pekerja-pekerja, sultan menerima imigran-imigran dari cina untuk membuka perkebunan pekerja di pabrik. Sehingga di Daik ada sebuah kampong yang dinamakan kampong Cina. Hasilnya, selain dikonsumsi rakyat, sebagian dijual ke singapura, Johor serta Pahang. Sagu-sagu yang sipa jadi itu diangkut menggunakan perahu kerajaan yang terkenal namanya seperti srilanjut, Gempita atau Lelarum.
Perkebunan sagu di Lingga hingga kini masih lestari dan bisa ditemui di berbagai pelosok Lingga. Perbedaannya, apabila pada mas lalu di kirim ke Singapur, Johor, Pahang, pada masa sekarang hasil olahan sagu Lingga banyak diserap dipasar local yaitu Palembang, Jambi dan Medan. Luas total Kebun sagu dikwasan Lingga serta Lingga Utara sampai saat ini mencapai 3445,5 hektare. Tapi uniknya meski menempati urutan pertama hasil perkebunan, selain karet dan lada, sagu di lingga masih diproses ssecara konvensional, baik daari proses pemotongan dampai pada proses pengolahannya. Lahan perkebunan sagu tua tetap menjadi tulang punggung ekonomi sebagian masyarakat Lingga meski tanpa perawatan. Pertiga bulan sekali, warga pemilik lahan panen batang sagu untuk kemudian dijual kepada pemilik industry rumah tangga yang mengolah sagu basah. Ratusan hectare kebun sagu tua yang tumbuh liar di sepanjang jalan itu tetap memberikan manfaat ekonomi warga Lingga. Proses dan industry rumah tangga ini memang telah lama menjadi pekerjaan warga Lingga. Dengan alat sederhana yang sebagian besar masih manual mereka mengolahnya. Selama ini masyarakat petani sagu Lingga masih Perorangan dan mandiri.
Sumber : Buku Renjis ( Jurnal Ilmiah Budaya dan Sejarah Melayu)
Penulis :Anastasia Wiwik Swastiwi