CERITA RAKYAT ASAL MULA NAMA DESA KUDUNG

Desa Kudung merupakan salah satu wilayah yang terletak di Kecamatan Lingga Timur, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Desa Kudung terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lingga No. 2 Tahun 2007. Sebelumnya Desa Kudung bagian dari Desa Sungai Pinang. Secara geografi Desa Kudung terletak di antara 00 17′ 08.999″ lintang selatan, dan 1040 53′ 15.360″ bujur timur, dengan luas wilayahnya ± 3.404,20 km2. Desa Kudung terbagi dari dua dusun, yakni dusun I di Kampung Kudung, dan dusun II di Kampung Tanjung Keriting.  Dusun 1 terdiri dari dua Rukun Warga (RW) yakni RW I dan RW II. RW I terdiri dari dua Rukun Tetangga (RT) yakni RT 01 dan RT 02. Untuk RW II terdiri dari tiga RT yakni RT 03, RT 04 dan RT 05.  Dusun II yang berada di kampung Tanjung Keriting terdiri dari satu RW, yakni RW III. RW III terdiri dari tiga RT yakni, RT 06, RT 07 dan RT 08. Wilayah Desa Kudung dengan batas-batasnya sebagai berikut:

  • Sebelah utara : Desa Teluk dan Desa Limbung
  • Sebelah selatan : Laut Singkep Selatan
  • Sebelah barat : Desa Sungai Pinang
  • Sebelah timur : Desa Teluk

Pusat pemerintahan Kecamatan Lingga Timur yang terletak di Desa Sungai Pinang berjarak dengan dengan Desa Kudung  ±7 km. Untuk menuju ke pusat pemerintahan bisa menggunakan jalan darat. Jarak Desa Kudung ke pusat ibu kota Kabupaten Lingga di Daik berjarak ± 58 km dan bisa ditempuh dengan jalan darat. Jarak Desa Kudung dengan ibu kota Provinsi Kepulauan Riau di Tanjungpinang berjarak ± 200 km.

Menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat, di zaman dahulu pada zaman kerajaan sebelum Kampung Kudung di Dusun I Desa Kudung dijadikan pemukiman, kampung Melingge dan Kampung Suak Cina merupakan kampung yang terlebih dahulu dihuni masyarakat. Kampung Suak Cina yang terletak di bagian hilir Sungai Kudung sebelah kanan arah ke hulu didiami oleh orang Tionghua. Kampung Melingge yang terletak bagian hulu sebelah kanan arah ke hulu didiami oleh orang Melayu. Masyarakat Tionghua selanjutnya berpindah ke arah hulu sungai di Kampung Kudung. Di Kampung Kudung orang-orang Tionghua membuka usaha perkebunan gambir. Setelah orang Tionghua berpindah, selanjutnya masyarakat Melayu di Kampung Melingge berpindah pula ke Kampung Kudung membuka pemukiman baru di bagian hilir perkampungan masyarakat Tionghua. Pada masa berpindah dari Kampung Melingge ke Kampung Kudung. Masyarakat juga membawa pindah surau. Pada masa ini bekas peninggalan Surau Kampung Melingge masih dapat ditemukan, dengan menyisakan bekas bak penampungan air.

Sebagai wilayah yang telah lama dihuni oleh penduduk, terdapat juga cerita rakyat yang mengisahkan asal-usul nama Desa Kudung. Terdapat beberapa cerita rakyat tentang asal nama Desa Kudung. Ada yang mengatakan nama Desa Kudung berawal dari seseorang yang jari-jemari tangannya kudung atau terpotong. Kabarnya konon di masa lampau ada seseorang yang mempunyai kebun yang ditanami berbagai macam tanaman. Orang ini sangat baik hati karena suka memberikan hasil kebunnya kepada penduduk setempat. Namun orang yang baik hati ini jari-jemari tangannya telah kudung. Tempat tinggal orang yang baik itu disebut dengan kudung.

Cerita yang lain pula, asal nama Desa Kudung daripada nama marga orang Tionghua yang bermarga Dong.  Dalam sekian banyak marga, tentunya marga Dong menjadi bagian dari marga orang Tionghua. Konon pada zaman dahulu kala, sultan Lingga pernah memberikan tempat kepada seorang laki-laki Tionghua yang bermarga Dong bersama dengan pengikutnya untuk membuka daerah baru yang berdekatan dengan aliran sungai di pulau Lingga. Laki-laki yang bermarga Dong di daerah tempat tinggalnya yang baru membuka usaha perkebunan gambir, sehingga daerah itu menjadi ramai dengan penduduk dari kalangan orang Tionghua dan Melayu. Daerah baru itu disebut penduduk dengan nama kampung Kudong sesuai dengan nama laki-laki Tionghua yang bermarga Dong.

Asal nama Desa Kudung ada juga yang mengaitkan dengan Legenda Kuda Ragam yang terkenal di tengah masyarakat Desa Kudung. Kisah Kuda Ragam telah dimuat dalam buku “Patahnya Gunung Daik, Kumpulan Cerita Rakyat Kepulauan Riau,” dikarang oleh Abdul Razak yang diterbitkan Autografika di Pekanbaru, tahun 2003 dan 2010. Dalam Legenda Kuda Ragam, dikisahkan konon di zaman dahulu kala ada satu pemimpin wilayah Kudung keturunan dewa dari gunung Daik bernama Kuda Ragam. Namanya disebut dengan Kuda Ragam karena dia mempunyai kesaktian bisa berubah wujud menjadi seekor kuda.  Kuda Ragam mempunyai dua orang anak laki-laki dan satu anak perempuan. Anak pertama seorang laki-laki bernama Kudang Kelana, anak kedua seorang perempuan bernama Kudung Kelana, dan yang paling bungsu seorang anak laki-laki bernama Kuding Kelana.

Menurut cerita, setelah Kuda Ragam meninggal dunia, ketiga anaknya suka berlayar ke berbagai daerah. Mereka berlayar menggunakan perahu raksasa peninggalan Kuda Ragam yang dibuat dari kayu Medang Sirai. Pada masa itu kuala sungai di wilayah Kudung bermuara di pantai utara pulau Lingga. Kapal besar Kuda Ragam yang ditambatkan ditepi pantai bagian buritannya berada di muara sungai dan haluannya berada di Desa Duara. Pada satu ketika perahu Kuda Ragam ingin berlayar ke wilayah Semenanjung Tanah Melayu, ditengah perjalanan turun angin ribut yang sangat dahsyat membuat laut bergelora. Perahu Kuda Ragam terombang-ambing dihantam ribut, sehingga mengakibatkan tali ikatan penahan layar terputus. Tali penahan layar yang putus melibas sampai ke hutan dipesisir pulau Sumatra. Untuk menggantikan tali layar yang putus, digunakan sehelai rambut Kudung Kelana. Layar dapat digunakan kembali, dan mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Semenanjung Tanah Melayu. Konon menurut cerita, hutan-hutan dipesisir wilayah Sumatra di daerah Inderagiri Hilir dan Jambi yang kelihatan dari jauh nampak rata, karena dilibas oleh tali layar perahu Kuda Ragam yang putus.

Pada suatu masa, Kudung Kelana tidak mengikuti dua saudaranya pergi belayar. Setelah sekian lama berlayar, Kudang Kelana dan Kuding Kelana kembali ke kampung halaman. Sekembali ke kampung halaman, Kudang Kelana dan Kuding Kelana mendengarkan saudaranya dituduh oleh masyarakat kampung telah berbuat serong. Semua itu adalah fitnah orang kampung yang tidak menyukai Kudung Kelana. Mendengar hal itu, Kudang Kelana dan Kuding Kelana mempercayainya. Walau pun Kudung Kelana telah bersumpah tidak melakukannya, namun dia tetap dijatuhi hukuman mati. Sebelum di hukum mati Kudung Kelana berpesan, sebagai orang yang tidak bersalah, nanti dibuktikan lewat darah akan keluar berwarna putih dari luka tikaman senjata ditubuhnya. Dia juga mengatakan, sungai yang mengaliri kampung akan berubah, hulu sungai menjadi hilir, dan hilir menjadi hulu. Kudung Kelana di hukum mati dengan cara ditikam dengan keris. Pesannya terbukti, luka bekas tikaman mengeluarkan darah putih. Setelah itu dengan serta merta, muara dan hilir sungai menjadi hulu tertutup dengan daratan dan menjadi hutan belantara. Bagian hulu sungai terus menjadi sungai hingga membentuk muara menghadap ke arah laut timur pulau Lingga.

Kudang Kelana dan Kuding Kelana menjadi terkejut dan menyesal. Mereka berdua baru menyadari telah melakukan tindakan kejam tanpa usul periksa, dan hanya mendengar fitnah orang kampung. Karena menyesal dan mengalami kesedihan yang teramat sangat, mereka berdua tidak lagi berlayar ke luar daerah seperti dulu. Karena tidak pernah lagi ingin pergi berlayar, perahu Kuda Ragam mereka tambat di tepi pantai dengan posisi bagian buritan perahu berada di depan muara sungai Kudung dan haluannya berada di sekitar Desa Keton dan Kampung Tanjung Alon. Ada juga yang mengatakan haluan perahu berada di sekitar pulau Mepar. Konon kabarnya sisa bagian perahu Kuda Ragam tumbuh dalam bentuk pohon kayu medang sirai. Jika ada yang bernasib baik akan dapat melihat pohonnya dan bisa memanfaatkan kayu dari pohon untuk peralatan sehari-hari. Dari kisah cerita Kuda Ragam, sebagian mengaitkan nama Desa Kudung berasal dari nama Kudung Kelana yang di hukum mati akibat fitnah orang-orang kampung.

Beberapa cerita rakyat yang mengisahkan tentang asal-usul nama Desa Kudung mempunyai pesan moral kepada masyarakat. Cerita pertama yang mengisahkan tentang asal nama Desa Kudung dari orang cacat yang jari tangannya kudung memberikan pesan, bahwa walau pun secara fisik orang tersebut tidak sempurna tetapi seorang yang baik hati. Manusia yang baik bukan saja dilihat dari keadaan rupa fisiknya yang sempurna tetapi juga dari kebaikan hati sesama manusia dan lingkungan sekitar. Cerita kedua asal nama Desa Kudung dari nama seorang laki-laki Tionghua yang bermarga Dong memberikan pesan, penguasa dan orang Melayu sangat terbuka dengan berbagai suku bangsa. Orang Melayu sangat toleransi dan bersahabat dengan berbagai suku bangsa yang datang kewilayahnya.

Pada masa kini sebagian kecil masyarakat Tionghua masih bermukim di Desa Kudung. Di Desa Kudung terdapat juga  sebuah rumah ibadah agama Konghucu milik masyarakat Tionghua yang bernama Klenteng Nguan Tian Siang Ti yang dibangun pada abad ke-18. Hubungan masyarakat Melayu dan Tionghua sangat harmonis dan mengutamakan sifat toleransi. Setiap setahun sekali di Desa Kudung masyarakat Tionghua akan melaksanakan perayaan Cap Go Meh yakni perayaan malam ke lima belas di tahun baru Cina. Masyarakat Melayu di Desa Kudung terlibat berbaur dan turut memeriahkan perayaan cap go meh dengan menikmati berbagai hiburan yang disediakan. Cerita rakyat ketiga yang berkaitan dengan legenda anak kuda ragam, memberikan pesan bahwa sebelum memutuskan sesuatu perlu diselidiki terlebih dahulu. Orang yang bijaksana tidak boleh begitu mudah mendengarkan kabar-kabar yang belum tentu jelas kebenarannya.

 

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga