Tambelan, adalah nama sebuah pulau, nama gugusan pulau, dan juga nama kecamatan di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Di gugusan Kepulauan Tambelan ada sekitar 56 buah pulau kecil. Berdasarkan data dari Tambelan Dalam Angka, (BPS Kabupaten Bintan, 2020), Kecamatan Tambelan terletak pada 0ﹾ59’31” Lintang Utara, dan 107ﹾ33’34” Bujur Timur, dengan luas daratan 169,42 km (0,72%), luas lautan 23.495 km (99,28%), dengan luas keseluruhan 23.665.42 km, terdiri dari 7 desa, dan 1 kelurahan, memiliki fasilitas pendidikan 1 buah Sekolah Menengah Atas, 1 Sekolah Menengah Pertama, 1 MTS, 7 Sekolah Dasar dan 2 Taman Kanak-kanak.
Berdasarkan tradisi lisan (folk lore), bahwa nama asal Pulau Tambelan adalah Pulau Kandil Bahar. Kandil berarti lampu, bahar bermakna laut, maksudnya lampu/cahaya yang terlihat dari laut. Nama Kandil bahar masih melekat hingga sekarang untuk menyebut lapangan depan Masjid Raya Baiturrahmat Tambelan. Lapangan Kandil Bahar juga disebut dengan nama Laman Balai, maknanya sebelum Masjid Raya Tambelan dibangun di tempatnya yang sekarang, dan direvitalisasi oleh Ketua Gemeinschaaft Tambelan, Datuk Kaya Hasnan Bin Yahya, sebelumnya lokasi tersebut berdiri sebuah balai tempat musyawarah, dan masjid tersebut sekaligus dijadikan sebagai tempat musyawarah, karenanya pekarangan atau halaman itu disebut juga dengan “laman balai”, Kandil Bahar”.
Konon ada pedagang/pelaut Arab, nakhodanya bernama Qayum yang singgah di pulau ini, masuk berlabuh di salah satu teluk di pulau tersebut, dan hingga sekarang masih ada nama daerah di sekitar teluk tersebut bernama Gayam. Perkampungan Gayam memang dalam tradisi bertutur orang Tambelan menyebutkan sebagai negeri (perkampungan awal) orang Tambelan tinggalnya di situ, sebelum pindah ke dalam teluk yang lebih panjang yang menjadi tempat pemukiman masyarakat Tambelan hingga sekarang ini. Di Gayam selalu diceritakan orang-orang dulu masih menemukan emas, alat alat perhiasan lain, dan pecahan perkakas rumah tangga.
Ada juga yang mengatakan nama Gayam tersebut berasal dari nama pohon atau nama ikan, namun di kalangan masyarakat Tambelan tidak mengenal nama pohon Gayam, atau nama ikan gayam. Tofonim Gayam ini sangat dekat dengan kata Qayum, boleh jadi nama Gayam ini berasal dari nama pelaut Arab Qayum. Qayum inilah yang menyebut nama pulau itu dengan sebutan Pulau Kandil Bahar. Bila dikaji secara etimologi, bahwa kata kandil dan kata bahar keduanya berasal dari bahasa Arab. Kandil berarti cahaya, sedangkan bahar (i) berarti laut, yang bila digabungkan bermakna cahaya dari laut.
Dari Cerita rakyat tentang nama Kandil Bahar, memang tidak dapat dipastikan peristiwa singgahnya pelaut/pedagang Arab ke pulau tersebut terjadi pada tahun berapa, yang jelas bila dikaitkan dari asal usul nama dengan cerita, ada kesesuaian. Nama Kandil Bahar ini digunakan sebelum tahun 1623 M, karena berdasarkan cerita rakyat juga, sejak Sultan Abdullah Muayat Syah, Sultan Johor, Pahang, Riau Lingga VII (1615-1623), datang dan hingga bermakam di Tambelan, nama pulau tersebut menjadi nama Pulau Sabda, (sabda, maksudnya titah sultan supaya baginda dibawa dan dimakamkan di situ). Sedangkan angka tahun 1623 M, diperoleh dari beberapa litelatur sejarah yang menceritakan tentang Sultan Abdullah Muayat Syah, banyak litelatur menyebutkan Sultan Abdullah Muayat Syah wafat di Tambelan pada tahun 1623 M.
Berdasarkan cerita rakyat Tambelan, konon ketika dalam pelayaran sultan menderita sakit, lalu memberi titah kepada para pembesar yang ikut berlayar dalam kapalnya itu, ‘jika sampai masanya beta dipanggil kehadirat Allah SWT, terbangkan ayam putih kaki kuning yang ada di kapal ini, di mana akhirnya ayam ini hinggap, di situlah tempat beta bermakam”. Sampailah pada hari yang sudah ditentukan takdir Allah SWT, sultan mangkat, lalu oleh pembesar istana yang mendapat titah wasiat itu diterbangkanlah ayam putih kaki kuning dimaksud, hinggap pertama kali di sebuah tanjung, tanjung tersebut hingga kini disebut dengan nama Tanjung Ayam (sebagai pelabuhan besar Tambelan sekarang). Rupanya ayam putih kaki kuning itu tidak berhenti di situ, terus terbang lalu hinggap dan tidak kemana-mana lagi, berhenti dekat di hulu Sungai Tambelan, maka dimakamkanlah baginda di situ.Hingga sekarang makam tersebut masih cukup terawat, sebagai salah satu benda cagar budaya, yang masih sering dijiarahi oleh masyarakat Tambelan terutama yang sudah lama tidak pulang kampung.
Sejak peristiwa mangkatnya Sultan Abdullah Muayat Syah, pulau Kandil Bahar berubah nama menjadi Pulau Sabda, sedangkan ayam putih kaki kuning dipercayai masih hidup di puncak Gunung Kute, sesekali diceritakan apabila ada orang yang “lemah semangat” mendaki ke puncak Gunung Kute dia akan melihat ayam putih kaki kuning tersebut. Secara tradisional Gunung Kute adalah gunung yang menjadi simbol magis-kosmopolitan bagi orang Tambelan, dianggap gunung tersebut dapat memberikan “tuah”, dengan sebutan sebagai “duate Tambelan”.Sedangkan perubahan dari nama Pulau Sabda menjadi Pulau Tambelan menurut cerita rakyat, pada zaman dahulu ada seorang datuk panglima Pulau Sabda yang sangat terkenal keberanian karena kekuatannya, Datuk Panglima ini konon berhasil membantu sultan dalam berperang melawan Belanda, karena jasa-jasanya itu ia diberi gelar Datuk Timbalan (timbalan artinya wakil), artinya wakil sultan. Dari kata timbalan itulah menjadi tambelan.Cerita rakyat ini tidak menyebutkan siapa nama Datuk Panglima tersebut, kapan terjadinya peristiwa perang melawan Belanda, di mana peperangan tersebut berlangsung, apa bentuk jasa yang sudah dibhaktikan kepada sultan sehingga Datuk Panglima dianugerahi gelar tersebut.Rupanya cerita rakyat tersebut terjawab oleh tulisan dalam makalah yang ditulis oleh Tengku Lukman Sinar (Putra Mahkota Sultan Serdang), yang dibentangkan dalam Seminar Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah di Tanjungpinang, tahun 1987. Perubahan dari Pulau Sabda menjadi Pulau Timbalan terjadi pada tahun 1784 ketika terjadinya Perang Riau (1782-1784) yaitu Perang Bahari rakyat Riau yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabillillah Marhum Teluk Ketapang melawan VOC.
Dalam Perang Riau tersebut tidak boleh dilupakan peran besar yang diberikan oleh datuk-datuk Pulau Tujuh, yaitu Datuk Jemaja, Datuk Siantan, Datuk Pulau Laut, Datuk Serasan, Datuk Subi, dan Datuk Pulau Sabda. Berdasarkan laporan Kontelir A.W.L.Vogelesang, ’’Gegeven Betreffende den Tambelan en den Watas Archiep’’ (1921) dalam Adat Rechtbundels 26 halaman 12, disebutkan ’’Datuk Pulau Sabda berhasil merebut meriam-meriam dari kapal Perang Belanda, sebagai imbalannya Sultan Mahmud Syah III memberi gelar Datuk Petinggi Timbalan Riau Maharaja Lela Setia kepada Datuk Pulau Sabda. Perkataan lela berarti meriam, timbalan berarti wakil, adalah suatu kedudukan istimewa bahwa sebelum semua datuk-datuk Pulau Tujuh menghadap Sultan Riau, mereka berkumpul dahulu di Pulau Sabda sebagai penghormatan terhadap Datuk Timbalan. Sejak itu tidak lagi disebut Datuk Pulau Sabda, tetapi Datuk Timbalan, dan pulau Sabda menjadi Pulau Timbalan, lidah Belanda melafalkan Tambelan, selanjutnya disebut Tambelan.
Kalau dianalisis tentang penganugerahan gelar Datuk Petinggi Timbalan Riau Maharaja Lela Setia kepada Datuk Pulau Sabda, maka dari tradisi penanugerahan gelar di Kerajaan Riau, gelar tidak diberikan kepada seseorang apabila tidak ada suatu prestasi luar biasa yang diraih oleh orang yang menerima gelar. Prestasi luar biasa apa yang telah diukir oleh Datuk pulau Sabda? Tidak ada gelar lain yang dienugerahkan oleh sultan selama masa Perang Riau, artinya satu-satunya gelar yang diberikan pada waktu itu hanyalah kepada Datuk Pulau Sabda, mengapa? Perkataan lela dalam serangkaian kata gelar tersebut memperkuat kebenaran Datuk Pulau Sabda memiliki andil yang cukup besar selama Perang Riau berkecamuk. Belanda tidak mempunyai markas atau benteng di daratan, karena itu serangan yang dilakukan oleh Belanda hanya dari kapal-kapal perang mereka. Artinya tidak mungkin Datuk Pulau Sabda merampas meriam Belanda di markas Belanda di darat (di benteng), meriam tersebut hanyalah dapat dirampas di kapal perang yang menjadi basis Belanda. Satu-satunya kapal perang Belanda yang berhasil diledakkan oleh pasukan Melayu adalah Kapal Perang (Kapal Induk) Malaka’s Walvaren pada tanggal 6 Januari 1784 menewaskan 500 pasukan Belanda termasuk komandan ekspedisi A.F. Lemker. Hancurnya Kapal induk Malaka’s Walvaren ini menyebabkan Belanda mengundurkan diri dari medan perang di perairan Riau ke Malaka. Jangan-jangan prestasi luar biasa yang diraih oleh Datuk Pulau Sabda tersebut adalah karena keberhasilan pasukan yang dipimpinnya ikut merampas meriam dari Kapal Induk Malaka’s Walvaren, atau menembakkan meriam ke kapal induk tersebut sehingga meledak. Peristiwa ini adalah kejadian luar biasa, prestasi yang gilang gemilang bagi pasukan Riau. Sangat wajar sultan memberikan gelar Timbalan yang berarti wakil kepada pemimpin pasukan yang meraih prestasi itu. Bukti pisik meriam itu banyak di Tambelan, dulu diletakkan di pekarangan “Rumah Tinggi” tempat kediaman Datuk Kaya Wan Abdurrahim (Datuk Kaya Wan Abdurrahim adalah juga mertua dari Datuk Kaya Hasnan/Datuk Kaya terakhir di Tambelan). Sebagian dari meriam tersebut pada awal tahun 1980an dibawa sebagai “penghias” pekarangan Koramil dan Mapolsek Tambelan. Namun ada satu meriam yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan penyebutan ’’lela’’ dengan beberapa pelurunya yang “dikeramatkan” sampai kini oleh masyarakat Tambelan, letaknya dekat Batu Tulong Air Tebarung, Desa Kukop, namanya meriam ’’Sri Penolak’’.
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bintan