DATUK KAYA PULAU TUJUH (TOKONG PULAU TUJUH)

Istilah Tokong Pulau Tujuh merujuk pada kekuasaan yang diberikan kepada Datuk Kaya di wilayah pulau Tujuh. Menurut Wan Tarhusin (2007;1), julukan Tokong Pulau yang diberikan kepada Datuk Kaya di Pulau tujuh mengibaratkan seorang pemimpin yang mengendalikan Pemerintahan di wilayah terkecil yang waktu itu diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan ‘Yayasan Adat” yang sudah ada pada masa itu.

Selanjutnya ditambahkan bahwa ketika Raja Ali memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Riau Lingga sebagai Yang Dipertuan Muda Ke VIII tahun 1857, terdapat suatu perjanjian yang disebut “Tawarikh Al Wastu” yang berisikan sumpah setia Sultan Mahmud Al Muzafar Syah yang mana ada menyebutkan “TOKONG PULAU” termasuk kawasan Riau Lingga dengan masing-masing wilayahnya ada kepalanya yang memerintah. Maka disebutlah Tokong Pulau Tujuh itu adalah Pengawal atau penjaga pulau/wilayah. (Wan Tarhusin, 2007).

Tatanan adat dan pemerintahan di zaman Datuk Kaya mempunyai latar belakang sejarah yang tertulis dalam “Contract met den Sulthan van Lingga Riow en Orderhooring heden” tahun 1784 -1909, di mana disebut juga “Tokong Pulau Tujuh” merupakan rangkaian yang diperintah oleh Datuk Kaya yang di bawah takluk Sultan Riau-Lingga.

Gelar yang diberikan di dalam pembagian wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh adalah sebagai berikut;
1. Wilayah Pulau Siantan : Pangeran Paku negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa
2. Wilayah Pulau Jemaja : Orang Kaya Maharaja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan
3. Wilayah Pulau Bunguran : Orang Kaya Dana Mahkota, dua orang Penghulu dan satu Orang Amar Diraja
4. Wilayah Pulau Subi : Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota
5. Wilayah Pulau Serasan : Orang Kaya Raja Setia dan Orang Kaya Setia Raja
6. Wilayah Pulau Laut : Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja
7. Wilayah Pulau Tambelan : Orang Kaya Maha Raja Lela Setia

Orang-orang besar inilah yang pada zaman dahulu memerintah di wilayah pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun dan sampai akhir kekuasaannya. Sistem pemerintahan tradisional pada masa mereka ini dimaksudkan untuk terjaminnya keteraturan dalam kehidupan masyarakat.

Pengaruh Datuk Kaya sangat besar dalam kehidupan masyarakat di Pulau Tujuh dan mereka sangat disegani rakyatnya selaku orang nomor satu yang dituakan pada masa itu. Selaku pemangku adat dan pemimpin masyarakat tempatan atau pemimpin tradisional, kewajiban Datuk Kaya adalah harus mampu mengamankan dan mensejahterakan masyarakatnya sesuai dengan daerah dan lingkungan kekuasaannya. Sementara itu karena mengemban tugas sebagai pemimpin tradisional, Datuk Kaya mempunyai hak yang diatur dalam hukum adat dan undang-undang yang berlaku pada masa itu.

Menurut Wan Tarhusin (2007;9), peninggalan-peninggalan selama Datuk Kaya memerintah pada zamannya, masih dapat dilihat dari peninggalan yang masih ada sampai sekarang ini, yaitu;

a. Rumah-rumah tempat tinggal para Datuk Kaya, seperti di Ranai, Sedanau, Serasan, Tarempa, Jemaja, Tambelan, Pulau Laut, Subi pada umumnya tinggal rangkanya saja yang masih utuh seperti di Tambelan dan Serasan,
b. Senjata pribadi pada Datuk Kaya; seperti keris pusaka, pedang, tombak, meriam dan lain-lain,
c. Barang-barang terbuat dari logam: talam tembaga, gusi tembaga, lela (meriam kecil), bintang penghargaan/pemberian dari negara-negara asing karena jasanya, dan lainlain,
d. Barang-barang dari akeramik penginggalan zaman dahulu seperti pasu, guci, mangkok, piring, cangkir buatan zaman dahulu, dan
e. Catatan-catatan sejarah yang tertulis, baik yang bertulisan Arab jawi maupun ditulis dengan bahasa asing seperti karangan dari “Gezaghebben Van de Tillaard” yang meneliti tentang adanya “Pangeran” di wilayah Datuk Kaya Siantan di samping adanya Datuk Kaya tahun 1874 oleh Van Hasselt.

 

Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna