CERITA RAKYAT ASAL MULA KATA DAIK

Daik merupakan nama sungai yang mengalir dan bermuara di selatan pulau Lingga, Kabupaten Lingga. Di samping itu juga, Daik nama suatu wilayah yang terdiri dari kampung-kampung yang berada di antara aliran sungai Daik dan sungai Tanda. Wilayah Daik secara keseluruhan merupakan wilayah Kelurahan Daik. Batas-batas wilayah Kelurahan Daik sebelah utara dengan Desa Panggak Darat, sebelah selatan dengan Desa Kelombok, sebelah barat dengan Desa Merawang, dan sebelah timur dengan Desa Panggak Laut.

Daik merupakan bagian dari tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Melayu. Daik juga pernah menjadi bagian dari pusat tamadun Melayu dan pernah menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga ke Lingga-Riau. Sebelum dijadikan pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga tahun 1787 oleh Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), wilayah Daik tempat kedudukan Orang Kaya Lingga yang memerintah wilayah Kepulauan Lingga. Orang Kaya Lingga yang berada di Daik berada di bawah pemerintahan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Menurut cerita rakyat yang berkembang di Daik, Megat Mata Merah yang tinggal di suatu tempat bernama pangkalan lama kota Kandis di Jambi telah berpindah ke Lingga dan menetap di Daik. Pada masa isterinya tengah hamil, Megat Mata Merah yang berada di Daik kabarnya telah pergi merantau dan menghilang. Sebelum pergi merantau, dia telah berpesan, jika isterinya melahirkan anak laki-laki, diberi nama Megat Raden Kuning. Isteri Megat Mata Merah melahirkan seorang anak laki-laki dan sesuai dengan pesan suaminya, anaknya diberi nama Megat Raden Kuning. Selanjutnya Megat Raden Kuning menjadi penguasa di Kepulauan Lingga dan setelah wafat, dia dimakamkan di bukit nyiur di Daik. Keturunan Megat Raden Kuning selanjutnya menjadi penguasa Lingga dengan jabatan Orang Kaya Lingga.

Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga dari Riau ke Daik. Perpindahan ini karena Sultan Mahmud Riayat Syah mengadakan perlawanan terhadap VOC. Pada masa itu kepulauan Lingga diperintah oleh Megat Inu yang menjadikan pulau Mepar di selatan pulau Lingga sebagai tempat kedudukannya. Sultan Mahmud Riayat Syah menjadi Daik sebagai pusat perjuangan melawan VOC dan sekaligus pusat pemerintahan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Sultan membangun istana baru berdekatan dengan sungai Daik. Sebagai pusat kerajaan, wilayah Daik muncul sebagai daerah berpengaruh dalam urusan pemerintahan dan kebudayaan Melayu di Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Pada tahun 1824, Inggeris dan Belanda mengadakan perjanjian di London yang merugikan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Perjanjian yang didalamnya mengatur pembagian wilayah yang dikuasai oleh pihak Inggeris dan Belanda, akibatnya Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terpecah belah. Akibat perjanjian yang telah dilakukan oleh Inggeris dan Belanda,  pada tahun 1830, Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga runtuh terpecah belah. Abdul Rahman Syah (1812-1832) sultan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga yang berada di Daik terpaksa melepaskan wilayah Johor dan Pahang. Tahun 1830, berdirilah Kerajaan Lingga-Riau dengan pusat pemerintahan di Daik dengan Abdul Rahman Syah sebagai sultan yang pertama. Dengan berdirinya Kerajaan Lingga-Riau, berakhirlah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Pada tahun 1900, Abdul Rahman Mu’azzam Syah (1884-1911) sultan Lingga-Riau terakhir memindahkan pusat kerajaan ke pulau Penyengat yang berada di Riau. Sejak itulah Daik berakhir sebagai pusat Kerajaan Lingga-Riau.

Sebagai daerah yang bersejarah terdapat cerita tentang awal mula dibukanya daerah Daik. Jika dilihat dalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi” yang ditulis oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Pariai Rajo Sari, orang kerajaan nan dua belas, keturunan orang Kayo Pingai bin Ahmad Salin Datuk Paduko Berhalo pada tahun 1358 H/ 1939 M dikisahkan wilayah Daik dibuka oleh Raden Kuning Megat di Alam anak Temenggung Merah Mato yang datang dari Jambi. Orang Bangka yang menjadi pengikutnya tinggal di wilayah sungai Tanda di sebelah barat sungai Daik. Kisah Raden Kuning Megat di Alam anak Temenggung Merah Mato yang membuka wilayah Daik dalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi” dikisahkan sebagai berikut:
“Telah selesai daripada berkata-kata itu maka berangkatlah mudik menurut sungai dari itu masing-masing. Entah berapa lamanya mudik itu, maka bertemulah Orang Kayo dengan anak sungai Daik itu. Dilihatnya bagus tempat itu. Maka Orang Kayo pun mukul tawak-tawak maka datanglah orang Bangka bertemu dengan Orang Kayo. Sembah orang Bangka, “Di sini baguslah Datuk membuat tempat sehingga inilah kita mudiknya kita.” Jawab Orang Kayo, “Baiklah! Sungai anak sungai Daik kita namai sungai Linggah ! Maka bemama ini kampung Datuk Kayo ini Linggah Daik, dan hamba orang Bangka membuat kampong di sebelah sungai yang hamba ikut, itulah sudah hamba tandai itu tempat masing-masing.”
Maka titah Orang Kayo, “Kita namai sungai yang engkau ikuti itu, Sungai Tanda maka bemama kampung kamu itu, Kampung Olak Sungai Dirajo Tando.” Lalulah berkampung tempat itu, orangpun banyak makin lama makin banyak datang nya mempertambahkan dirinya kepada Orang Kayo Singo Dirajo hingga bertinggallah Pulau Singkep dan Pulau Daile dengan manusia. (Budhisantoso dkk, 1991/1992:58-59).

Sebagai daerah yang bersejarah, terdapat juga cerita rakyat tentang asal-usul nama Daik.  Menurut cerita rakyat di zaman dahulu kabarnya Megat Mata Merah yang tinggal di pangkalan lama kota Kandis di Jambi datang ke Lingga untuk membuat negeri yang baru. Sesampainya di Lingga, Megat Mata Merah dan pengikutnya bermukim disekitaran sungai Kasa Buntu di wilayah yang bernama Limbung di sebelah utara pulau Lingga. Megat Mata Merah tidak bisa tinggal lebih lama di daerah ini, karena terdapat banyak hewan gamat yang naik ke darat sehingga mengakibatkan menimbulkan aroma busuk. Megat Mata Merah dan pengikutnya berpindah ke wilayah antara Tembok dan Jelutung di bagian barat pulau Lingga. Di tempat yang baru ini, sekali lagi Megat Mata Merah tidak bissa tinggal betah, karena banyak terdapat serangga pikat yang sangat mengganggu. Megat Mata Merah akhirnya berpindah ke wilayah di sekitaran sungai Daik yang berada di sebelah selatan pulau Lingga. Di Daik Megat Mata Merah dan pengikutnya dapat hidup nyaman, damai dan sentosa dibandingkan dua tempat sebelumnya.

Dalam cerita rakyat, nama Daik bermula dari kisah Megat Mata Merah yang membuka pemukiman baru disekitaran sungai Daik. Menurut cerita rakyat sebelum masuk ke aliran sungai Daik, Megat Mata Merah bersama pengikutnya menemukan muara sungai dan terus mudik ke hulu untuk mencari tempat yang layak di buat pemukiman. Namun, setelah di lihat tempat tersebut kurang tepat, mereka menghilir menuju muara. Sebelum menghilir, di suatu tempat di tepian sungai di beri tanda, sehingga sungai tersebut mereka beri nama sungai tanda. Setelah keluar dari muara sungai tanda, rombongan Megat Mata Merah menemukan lagi satu muara sungai yang lebih lebar dan mereka pun mudik ke arah hulu. Setelah di lihat-lihat, wilayah sungai sangat baik dijadikan pemukiman, disebutlah sungai baik sehingga lama kelamaan sungai baik di sebut orang menjadi sungai Daik. Wilayah sekitaran sungai Tanda juga dijadikan oleh pemukiman oleh penduduk. Selanjutnya Megat Mata Merah dan keturunannya menjadi penguasa di wilayah Lingga.

Sebagai tempat yang bersejarah dan bagian dari pusat kebudayaan Melayu, kisah asal mula nama Daik menyiratkan bahwa wilayah Daik bermakna wilayah baik yang memberikan ketenangan, dan kedamaian bagi penemunya yang sebelumnya telah mengalami berbagai cobaan. Selanjutnya wilayah baik ini terus berkembang menjadi wilayah tempat yang benar-benar baik bagi perjalanan sejarah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Wilayah yang baik ini dijadikan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pusat kerajaan. Sebagai pusat kerajaan wilayah baik ini menjadi juga bagian dari pusat tamadun Melayu yang gemilang. Tengku Muhammad Saleh seorang ulama, sejarawan dan budayawan keturunan Sultan Lingga-Riau di Daik yang lahir pada tahun 1901 dan wafat pada tahun 1966 dalam salah satu catatannya menuliskan Daik Darussalam yang bermakna negeri yang damai. Catatan Tengku Muhammad Saleh ini sejalan dengan asal kata Daik yang menurut cerita rakyat berasal dari kata baik. Negeri yang penuh kedamaian tentu negeri yang baik.

 

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga