CERITA RAKYAT BATU GAJAH

Di pulau Lingga terdapat deretan pegunungan yakni gunung Daik, gunung Tanda dan gunung Sepincan. Gunung Daik terletak di tengah-tengah antara gunung Tanda dan gunung Sepincan. Gunung Daik gunung tertinggi di antara dua gunung lainnya dan puncaknya bercabang tiga. Setiap puncak mempunyai nama tersendiri yakni jika kita melihat dari wilayah Daik, puncak sebelah kanan paling besar disebut dengan gunung Lingga, yang di tengah-tengah tegak runcing disebut dengan pejantan dan sebelah kiri paling kecil juga pendek disebut dengan cindai menangis.

Dalam cerita rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Daik dan sekitarnya, di gunung Daik dan gunung sekitarnya dihuni oleh makhluk ghaib yang menyerupai manusia yang disebut sebagai orang bunian atau orang halus. Orang bunian dalam cerita rakyat dikisahkan berwujud manusia yang mempunyai kesaktian yang bisa menolong atau pun mengganggu manusia. Orang bunian dikisahkan bisa menolong manusia seperti memberikan pengobatan terhadap orang sakit. Untuk memberikan pengobatan orang bunian merasuki tubuh seseorang untuk bisa berkomunikasi dengan seorang pawang. Seperti tradisi di Desa Mentuda yang pernah dilakukan setiap setahun sekali dalam menyambut bulan Muharram, seorang bomoh dipercaya bisa memanggil orang bunian untuk merasuki dirinya agar dapat melakukan ritual bela kampung.

Pada masa kini sebagian masyarakat di Daik masih ada yang percaya keberadaan orang bunian di gunung-gunung di Lingga.  Terdapat berbagai cerita kisah orang bunian yang ada di Lingga, yang kadang menjadi perbincangan menarik di masyarakat. Kisah orang bunian juga berhubungan dengan legenda batu gajah di gunung sepincan. Di gunung Sepincan terdapat pemandangan indah batu besar berwarna putih yang disebut dengan batu gajah. Dalam cerita rakyat di Lingga, konon batu gajah berasal dari seekor gajah. Dalam dongeng dikisahkan, terdapat sepuluh dewi dari kalangan orang bunian yang turun ke dunia manusia di Daik untuk menyaksikan keramaian yang dilakukan tujuh hari tujuh malam.

Sepuluh orang Dewi yang ingin turun ke dunia manusia pada awalnya dilarang oleh kedua orang tuanya tetapi akhirnya keinginan itu dikabulkan dengan syarat untuk turun ke dunia manusia mereka harus menjelma menjadi gajah dan selanjutnya saat berada di tengah-tengah manusia mereka akan menjelma selayaknya seperti manusia. Saat ingin kembali ke puncak gunung pada waktu subuh sebelum matahari terbit, mereka berubah wujud lagi menjadi gajah dan setibanya di atas gunung mereka akan kembali menjadi para dewi orang bunian. Setiap malam para dewi orang bunian menyaksikan keramaian.

Pada  malam terakhir perayaan, karena agak lambat kembali menuju gunung, mereka tergesa-gesa meninggalkan dunia manusia untuk kembali bersemayam di atas gunung. Setelah melewati kampung Panggak Darat (wilayah Desa Panggak Darat, Kecamatan Lingga) mereka berubah wujud menjadi gajah dan matahari pun hampir terbit. Mereka segera berlari kencang menujuk puncak gunung untuk menghindari terlihat oleh manusia. Namun malangnya dewi paling bungsu yang telah berwujud gajah terlambat dan terpincang-pincang mencapai puncak gunung sehingga terlihat oleh manusia. Orang-orang yang melihat gajah menuju ke puncak gunung, berteriak menyebutkan ada gajah berlari menuju gunung sehingga dewi yang tidak boleh terlihat manusia menjadi batu. Gajah yang menjadi batu raksasa bagian mukanya mengarah ke Daik dan bagian ekornya mengarah ke bagian Desa Resun.  Konon nama gunung Sepincan berasal dari Si Pincang, gajah jelmaan dewi paling bungsu yang terpincang-pincang berlari menuju puncak gunung.

Cerita rakyat legenda batu gajah memberikan pesan bahwa setiap orang perlu disiplin dan tepat waktu. Orang yang menyia-nyiakan waktu untuk kepentingan yang tidak berguna bisa mengakibatkan merugikan diri sendiri. Orang yang bijaksana akan menggunakan waktu dengan baik untuk hal-hal yang bermanfaat sehingga tidak merugikan diri sendiri, karena waktu sangat berharga bagi hidup manusia.

 

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga