Dalam adat istiadat perkawinan Melayu Lingga terdapat berbagai tahapan adat istiadat yang dilaksanakan. Sebelum memulai melaksanakan acara akad nikah dan pengantin bersanding dilaksanakan adat istiadat gantung menggantung tabir di rumah pengantin perempuan. Gantung menggantung tabir merupakan kegiatan persiapan untuk acara majelis perkawinan dan pertanda dimulainya acara adat istiadat perkawinan yang diiringi dengan doa selamat agar mendapatkan rida dari Allah SWT. Acara gantung menggantung ini juga ada pada acara adat istiadat memuliakan tamu. Adat istiadat gantung-gantung telah lama dikenal masyarakat Lingga, dan pada masa lampau telah menjadi budaya raja-raja Lingga-Riau. Bisa dilihat dari adat istiadat pernikahan leluhur Sultan Lingga, yakni Daing Celak dan Tengku Mandak dalam Salasilah Melayu dan Bugis karangan Raja Ali Haji yang dinyatakan,“Maka Bendahara pun bersabda kepada penghulu balai menyuruh menggantung-gantung serta bersiap-siap alat perkakas serta mengumpulkan orang-orang Bentan akan menunggu balai, iaitu penghulu balai. Serta Temenggung pun mengumpulkan anak buahnya menyuruh ke dalam. Maka datanglah segala mereka itu masuk ke dalam. Maka lalulah diperintahkan Temenggung serta penghulu balai akan anak buahnya menghiasi balai.” (Mohd. Yusuf Md. Nor, 2016:89-90).
Di dalam acara perkawinan kegiatan gantung-gantung mulai dilaksanakan satu atau dua hari sebelum akad nikah yang kita kenal dengan istilah gantung menggantung kecil dan gantung menggantung besar dan pengantin bersanding. Gantung menggantung dimulai pada pagi hari setelah shalat subuh sampai menjelang shalat zuhur yang dimulai dengan pembacaan doa selamat. Setelah pembacaan doa selamat, orang-orang yang bergotong-royong membantu kegiatan gantung menggantung, memulai kerja dengan mengantung tabir atau langit-langit untuk menghias rumah pengantin. Setelah menggantung tabir, atau langit-langit, seterusnya dilaksanakan pekerjaan lain seperti memasang tempat pengantin bersanding, bahan-bahan untuk hidangan para undangan, dan lain-lain.
Tradisi gantung-gantung bukan saja bagian dari adat istiadat pernikahan Melayu tetapi di masa lampau juga bagian dari tradisi untuk memulai acara adat istiadat raja bertabal di istana. Pelaksanaan Mengenai adat istiadat gantung-gantung yang telah menjadi budaya istana Lingga-Riau, dapat juga dilihat dalam Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor karangan Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda. Kisah gantung-gantung dalam Cakap-Cakap Rampai-Rampai Melayu Bahasa Melayu Johor dimuat dalam kisah percakapan antara Sulaiman dengan Ismail tentang Kuasa dan Adat Raja dan Segala Menteri Besar dan Kecil di dalam Kerajaan Johor. Dalam percakapan ini, Sulaiman menyatakan “ Dan lagi sahaya dengar, yang datuk penghulu bendahara itu, apa bila raja hendak bekerja beradat istiadat, ketika hari menggantung2 di balai, maka tak dapat tiada datuk penghulu bendahari ada di balai itu, Yakah begitu ?” lalu dijawab oleh Ismail “Benar itu karena mana-2 yang kurang atau kurang elok, seperti tabir, langit-2 dan daripada kain ulas tiang, datuk penghulu bendaharilah mencukupkan; sebab dia memegang khazanah raja. Datuk Penghulu bendaharilah menyuruh Datuk Syahbandar mencari mana-2 yang kurang itu.
Makna dari acara gantung-gantung adalah sebagai tanda dimulainya acara dan mengharapkan ridha Allah SWT. Selain gantung menggantung pada acara perkawinan bias juga dilaksanakan pada acara majelis adat istiadat (menyambut tamu).