SOSIAL KULTURAL MASA KERAJAAN MALAKA (abad 14-15)

Kehidupan social kultural pada masa kerajaan Malaka diwarnai oleh konsep dan peranan symbol dalam tradisi kerajaan. Simbol ini untuk memberikan hak istimewa kepada raja yang memerintah dan hak untuk rakyat. Simbol itu antara lain (Yusoff Hashim, 1990:64) :

  1. Peralaatan Budaya
  2. Bahasa
  3. Undang-Undang
  4. Warna
  5. Protokol dan adat istiadat

Peralatan budaya merupakan alat-alat yang dapat dilihat, dan diadakan untuk menjadi pendukung pada Kharisma raja yang sedang memerintah. Dengan adanya alat-alat ini disamping kehadiran raja untuk semua upacara resmi ialah untuk menunjukkan bahwa seorang Raja mempunyai nilai dan unsur kebesaran secara simbolik. Oleh karena itu, alat-alat ini dinamakan sebagai alat kebesaran raja.

Rakyat dilarang untuk menggunakan alat-alat tersebut selain “perintah raja”. Peralatan budaya tersebut antara lain ketur (tempat untuk meludah), kendi, kipas, coan, sirih puan, pawai, dan berbagai jenis senjata seperti keris dan pedang, tombak dan lembing, ceper, kerikal, tetampan dan payung. Semuanya disebut sebagai “segala perkakas raja”. Peralatan kerajaan juga termasuk alat music tradisional yang dibunyikan untuk acara-acara dan adat resmi yang terkait dengan istana dan yang berhubungan dengan adat istiadat kerajaan. Peralatan ini digunakan sebagai “alat kerajaan”. Alat bunyi-bunyian disebut kumpulan nobat. Hanya raja saja yang berhak untuk memiliki dan menggunakan alat-alat tersebut untuk semua upacara yang bercorak pribadi dan yang berhubungan dengan istiadat istana dan kerajaan.

Alat Kebesaran yang agak sekunder sifatnya ialah usungan (tandu),yang digunakan sewaktu raja berangkat. Peranan simbolik alat kebesaran ini tidak begitu menonjol karena lat ini juga dianugerahkan penggunaanya kepada Bendahara dan Laksamana. Hal yang membedakannya ialah keberangkatan raja dengan tandu tersebut akan disertai oleh para pembesar yang telah ditentukan kedudukan mereka. Hal ini bertujuan supaya rakyat dapat mengetahui bahwa keberangkatan tandu yang disertai oleh para pembesar itu adalah raja atau sultan yang sedang memerintah Melaka.

Gajah yang menjadi kendaraan didarat dan perahu yang menjadi kendaraan di air juga menentukan kaedah simbolik ini. Apabila raja menaiki gajah, Laksaman dan Temenggung akan turut bersama-sama untuk mengawal kesselamatan raja dengan diiringi oleh paluan gendang nobat. Perahu raja juga harus berbeda dengan perahu biasa. Hanya perahu yang dinaiki oleh raja dibenarkan mempunyai tingkap berhadapan. Sebagian dari alat kebesaaran raja dan alat kerajaan ini masih diwariskan dan digunakan oleh raja-raja Melayu dalam system kerajaan.

Ada juga peralatan yang dikaitkan dengan pembentukan “ undang-undang” sekuler negeri. Tujuannya ialah untuk membedakan antara hak raja dengan hak yang dimiliki atau diamalkan oleh rakyat. Rakyat tidak boleh menggunakan peralatan tertentu dalam bentuk larangan, karena peralatan tersebut untuk kegunaan raja dan kerabatnya saja. Contohnya, warna kuning adalah hak Raja. Rakyat tidak dibenarkan untuk menggunakan kain berwarna kuning untuk menyulam sapu tangan, tepi tabir, ulas bantal dan tilam; dan sembarang ciptaan seni untuk perhiasan rumah. Rakyat hanya boleh menggunakan kain tersebut untuk dibuat kain, baju dan destar. Payung bewarna putih dikhususkan untuk kegunaan raja saja. Payung kuning untuk anak raja. Hanya raja yang berhak menggunakan rumah berperanjungan, bertiang gantung dan rumah berperanginan. Dalam adat istiadat pelantikan-raja-raja, Bendahara dianugerahkan oleh Sultan lima persalinan untuk satu “set” anugrah yaitu baju, kain, destaar dan ikat pinggang. Sedangkan anak raja-raja kerabat hanya dianugrahkan empat persalinan untuk setiap set.

Untuk menunjukkan sifat aristokrasi dan juga elit raja dan kerabatnya, rakyat tidak dibenarkan untuk memakai penduk, teterapan keris dan gelang kaki yang terbuat dari emas raja dan kerabatnya saja yang berhak memakainya. Rakyat hanya boleh memakainnya bila mendapat anugrah dan izin dari raja. Sedangkan pola pemukiman masyarakat pada masa itu, Tome Pires mengatakan bahwa istana tempat tinggal raja dan kalangan kerabat ialah di Bertam, bagian hulu pedalaman Melaka. Di sekitar lereng bukit yang mengelilingi kpmpleks adalah rumah para pembessar dan pegawai negeri. Di sekeliling kaki bukit, terutama  yang menghadap pantai dan laut Melaka, terdiri kediaman para hulubalang, prajurit dan Orang laut Melaka.

Susunan pemukiman seperti itu sangat strategis dan amat berfungsi dengan keadaan masa itu. Keselamatan raja dan para pembesar akan senantiasa terlindung dari segala ancaman serangan. Jika serangan terjadi, maka raja dan pengikutnya dengan mudah bbiasmundur ke kawasan pedalaman arah ke hulu.

Sumber : Buku Pulau Tujuh (Sejarah dan masyarakatnya pada Naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan)
Penerbit : Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang