MASJID DALAM BINGKAI SEJARAH RIAU-LINGGA

Masjid adalah salah satu elemen penting dalam sejarah sebuah negeri dan pemerintahannya di Alam Melayu. Kedudukan sebuah masjid sebagai symbol kebesaran ilahiah sama pentingnya dengan istana dan kelengkapan sebagai sebuah symbol kebesaran duniawiah. Kiasan bersayap tentang hubungan antara masjid dan istana dalam kebudayaan Melayu diatas menunjukkan betapa pentingnya kehadiran dan keberadaan sebuah masjid dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat melayu yang identic dengan islam dalam pengertian syariat dan kebudayaan yang luas cakupannya.

Sebuah istana tak dapat menggantikan fungsi masjid sebagai sajada atau tempat sujud, tempat shalat yang utama. Oleh karena itu sebuah masjid harus dibangun sebagai sebuah gedung tersendiri. Sebaliknya sebuah masjid dapat mengambil alih sebagian fungsi yang dimainkan istana, karena sebuah masjid dalam kehidupan orang Melayu juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya hal-hal yang berkenaan pemerintahan, sosiopolitik ,dan kultural.

Sebuah ilustrasi daari massa lalu, tentang fungsi social-kultural dan politik sebuah masjid dalam peristiwa sejarah pada fase-fase awal-awal berdirinya meminjam istilah Leonard Andaya kerajaan Johor yang baharu di Riau (Riau Lama) yang kemudian menjadi Kerajaan Riau inggadi fase terakhirnya, baarangkali tepat untuk mengambarkan bagaimana pentingnya masjiddalam persoalan-persoalan social politik  sebuah negeri atau Negara dalam kebudayaan Melayu. Adalah sebuah masjid di ibukota Johor di Riau (Riau Lama) yang dipilih sebagai tempat untuk mengucap sumpah sempena mengunci dan meneguhkan berakhirnya semua peperangan  dan pertelagahan politik antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah  dan Yang Dipertuan Muda Daeng Marewah dengan Raja Kecik gelar Sultan Abdul jalil Rahmatsyah, Sultan Siak pada tahun 1726.

Selain menunjukkan bagaimana pentingnya kedudukan serta fungsi ssebuah masjid dalam sejarah kerajaan johor yang baharu di Riau yang terus berlanjut hingga ke penghujung perjalanan sejarahnya pada zaman daik Lingga dan Pulau Penyengat, catatan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-nafis, sesungguhnya juga menunjukkan dan sekaligus menjadi bukti bahwa masjid telah eksis di kerajaan pewaris kebesaran Melaka itu sejak abad 18 atau lebih dari itu, karena Negeri Riau yang dibuka oleh Laksamana Tun Abdul Jamil tersebut adalah ibukota kerajaan dengan segala kel;engkapannya sejak abad ke 17. Karena itulah masjid dalam perjalanan sejarah kerajaan Riau-Lingga adalah bagian yang tak terlepas dari eksistensi pusat pemerintahan  kerajaan yang berada di istana. Silih berganti masjid dibangun di pusat-pusat pemerintahan kerajaan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Ketika Sultan Mahmud Riatsyah hijarah memindahkan istana dan ibukota pusat pemerintahan kerajaan johor  dari Riau ke Lingga tahun 1787, konsep tentang pentingnya sebuah masjid di pusat pemerintah kerajaan di Riau, dibawa pula ke Lingga.

Setelah melalui masa-masa genting dan panjang selama dan ssesudah peperangan Raja Haji dan VOC Belanda sejak tahun 1784, dan setealah belanda maupun Inggris memulangkan pemerintahan kerajaan Johor kepadanya pada tahun1793, Sultan Mahmud Riatsyah mulaimenata memperbaiki Negeri Lingga dengan segala Kelengkapannya sebagai pusat pemerintahan dan ibukota yang baru. Sekali lagi sebuah masjid baru dibangun., sekali lagi pula Raja Haji mencataatkan dalam Tuhfat al-nafis : …Maka baginda Sultan Mahmud pun memperbaikilah Negeri Lingga dengan membuat masjid dan pasar dan lainnya daaripada kota dan parit. Maka ramailah Negeri Lingga.

Sekitar sebelas tahun kemudian , Sultan Mahmud Riatsayah kembali membuka negeri serta membangun sebuah masjid sebagai kelengkapan sebuah negeri untuk istrinya Engku Puteri Raja Hamidah di Pulau Penyengat. Setelah Punggawa Bakak yang menjaga Pulau Penyengat selesai menebas membersihkan pulau itu, beliau memerintah Encik Kalok bin Encik sulah peranakan Bugis memimpin pembangunan…istana dengan kota paritnya dengan masjid balairungnya… Menurut Tuhfat al-nafis Naskah Terengganu, masjid dan istana pertama di pulau Penyengat itu diserahkankepada Engku Puteri pada 3 maret 1804. Setelah tahun 1804, perlahan-lahan Pulau Penyengat berkembang menjadi tempat kedudukan dan pusat pemerintahan Yang  Dipetuan Muda Riau, ketika Raja Jakfar saudara Engku Puteri Raja Hamidah menyandang jabatan itu. Berbagai sarana dibangun dan sebuah masjid baru menggantikan masjid lama mulai dibangun pula oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdulrahman – salah seorang putera nya menggantikannya sebagai yang Dipertuan Muda pada 1 syawal 1249 Hijiriah bersamaan dengan 9 februari 1843 Miladiah.

Masjid baru yang indah di Pulau Penyengat iniselesai pembangunannya pada masa Raja Ali Mahrum Kantor, tahun 1849, dan tampil sebagai masjid jamik, masjid utama pusat syiar islam yang penting pada zamannya. Sejumlah  ulama silih berganti dijemput untuk memakmurkan Maasjid ini sehingga memungkinkan Pulau Penyengat tampil sebagai Pusat Tamadun Islam abad19 di rantau Selat Malaka.Pembangunan Masjid Jamik di Pulau Penyengat (yang kini namanya telah berganti menjadi Masjid Sultan Riau) adalah tonggak penting dan sangata berpengaruh dalam sejarah pembangunan masjid di wilayah kerajaan Riau-Lingga dan daerah taklukkannya pada masa-masa selanjutnya. Ketika kebijakan baru tentang wakil-wakil kerajaan sebagai perpanjangan tang Yang Dipertuan Muda Riau di sejumlah daerah dijalankan pada masa pemerintahan masa Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad (1858-1899), yang juga seorang imam Taerakt Naqsyabandiah dijalankan, tampaknya pembangunan masjid menjadi  prioritas di pusat pemerintahan wakil-wakil kerajaan itu.

Tampaknya pulau Karimun yang dijuluki sebagai Pulau Karimun Darussalam dan pulau-pulau lainnya kawasan Kepulauan Karimun pada masa dipimpin untuk pertama kalinya oleh raja Abdulrahman ibni Yang Dipertuan  Muda Raja sebagai pemegang perintah sejak tahun 1828 adalah sangat penting kedudukan dalam sejarah pembangunan masjid-masjid baru dalam wilayah pusat pemerintahan wakil kerajaan Riau-Lingga sejak akhir tahun 1870an dan awal tahun 1880an. Dari empat wilayah wakil-wakil pemerintahan kerajaan Riau di Kepulauan Karimun antara akhir tahun 1870an dan awal tahun 1880an yakni Lebuh, Sulit, Buru di pulau Buru, dan karimun di Meral, tiga wilayah diantara membangun masjid baru sebagai bagian dari kelengkapan negeri dan sebagaia pusat syiar islam sempena kebijakan Yang Dipertuan Muda Riau  Raja Muhammad Yusuf. Masjid-masjid awal di Meral, Sulit dan Pulau Buru ini menjadi pemicu munculnya masjid dan sura baru yang dibangun di wilayah Kepulauan Karimun pada masa-masa selanjutnya dan bahkan terus-terus berlanjut hingga ke masa kini.

Sumber : Buku Khazanah Masjid Bersejarah Bumi Berazam
Penulis : Aswandi Syahri dan Irwanto