RIWAYAT HIDUP SULTAN MAHMUD RI’AYAT SYAH

2. Pendidikan dan Pematangan Sultan

Raja Mahmud sejak kecil sudah menampakkan tanda-tanda kelak akan menjadi orang besar. Apa-apa asuhan emak saudara (bibi)-nya, juga Daeng Kamboja dan Raja Haji (ayah saudara/pamannya), menjadi penting bagi pertumbuhkembangannya sehingga mencapai kanak-kanak sampai remaja atau akil balig. Tentulah kepadanya sudah diberikan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama dan pemerintahan, karena beliau putra seorang sultan (raja) dan telah pun ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar, Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pendidikan agama Islam sudah didapatinya dengan baik ketika masih kanak-kanak, karena di pusat kerajaan di Hulu Sungai Carang, Bintan, dilangsungkan pula pendidikan-pendidikan agama Islam oleh guru-guru agama atau ulama, baik di istana maupun di masjid atau surau.

Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebagai kelanjutan dari Kerajaan Melayu-Islam Melaka. Oleh sebab itu, sudah menjadi keniscayaan bahwa kerajaan inipun bercorak Islam, yang pendidikan bagi anak-anak sultan. atau raja-raja dan rakyat sekaliannya ditekankan pada pendidikan bersendikan Islam. Pendidikan ketauhidan, syariah, dan muamalah diberikan di dalam istana dan rumah-rumah ibadah berupa langgar, surau, masjid dan rumah wakaf. Sejalan dengan itu, pendidikan tentang pemerintahan dan ketentaraan pun diberikan pula karena untuk kelangsungan kedaulatan negeri dari berbagai musuh, khususny; Belanda. Dengan demikian. tak mengherankan bila setiap sultan atau; raja mempunyai semangat juang yang membaja, tak tergoyahkan oleh bujuk rayuan pihak musuh, khususnya Belanda, Pada akhirnya, setiap derap perjuangan dalam mempertahankan kedaulatan negeri, tiada lain tersebab panggilan berjuang di jalan Allah, yang dikenal dengan fi sat bilillah, yang pada gilirannya sudah menjadi pilihan bila akhirnya gugm sebagai syuhada atau syahid fi sabilillah,

Niscayalah pendidikan semacam itulah yang diberi dan ditanam… kan oleh Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja dan Kelam Raja Haji kepada Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah sewaktu kanak-kanak sehingga akil balig, Kala itu, Yang Dipertuan Muda dan Kelana Raja Haji telahpun pula mencontohkan langsung kepada Baginda Sultan yang masih belia itu bagaimana memimpin dan mengelola pemerintahan demi kemajuan, kemakmuran, dan kejayaan kerajaan (negeri dan masyarakat). Terlebih lagi, marwah negen’ dan pemerintahan mesti ditegakkan meskipun dengan taruhan jiwa dan raga. Berhadapan dengan musuh kerajaan, terutama Belanda, tiada ubahnya berhadapan dengan musuh Allah sehingga tak akan pernah ada kata kompromi, apalagi mau ditaklukkan. Sikap dan kata yang pasti hanya satu, berjuang sebagai perlawanan dengan niat di jalan Allah, ]? sabilillah. ltulah ajaran dan didikan yang memang telah melembaga di kalangan adat-istiadat Diraja Melayu-Islam.

Kepribadian Sultan Mahmud Ri’ayat Syah tentulah amat berbeda dan jauh lebih maju, matang, mahir (piawai), dan hebat (tangguh) bila dibandingkan dengan sultan-sultan dalam kerajaan Riau-Linggau labor-Pahang sebelumnya. Baginda sejak kecil (kanak-kanak) lagi sue dah berkedudukan sebagai Yang Dipertauan Besar Sultan )ohorwkiau’ Lingga-Pahang. Pendidikannya diberikan langsung oleh Yang Dipertan Muda III Riau Daeng Kamboja, Kelana Raja Haji, dan pembesar-pemba sar kerajaan lainnya seperti Datuk Bendahara, Temenggung, dan Indra Bungsu. Di samping itu, tentulah Baginda juga dididik oleh sejumlah cerdik-pandai atau ulama dalam perkara agama Islam. Kepribadiannyapula mendapat tempaan dari beberapa ibunda saudaranya, yang teru-» tama Engku Hitam, saudara kandung ibundanya yang telah mangkat.

Berlangsungnya pendidikan dalam segala bidang di dalam istana sudah menjadi kelaziman di dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara ketika itu. Karena penguasa-penguasa atau pembesar-pembesar kerajaan menjadi peneraju penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam, tak terkecuali pendidikannya, Islam menjadi agama yang sepenuhnya diyakini dan diamalkan oleh segenap rakyat kerajaan. Peran dan pengaruh penguasa menjadi sangat penting dan dominan di dalam syiar Islam tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (2) peran penguasa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sangat besar dalam penyebaran agama Islam. Sejak abad ke-17 dapat dikatakan bahwa Islam telah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara melalui berbagai salud ran seperti perdagangan, perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan (pesantren), mistik cabang-cabang seni, dan lain-lain. (Dasuki, 1994:215-216).

Dengan kata lain, pendidikan yang berlangsung bagi anak-anak bangsawan dalam kerajaan Islam terutama berlangsung di istana dan di langgar. Pengajaran di langgar merupakan pengajaran agama permulaan. Anak-anak dididik pada awalnya mempelajari abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat Al-Quran. Berbagai pengetahuan dasar agama diajarkan pula, terutama tentang ibadah dan akhlak. Langgar bukan pula hanya sebagai tempat pendidikan agama, melainkan sekaligus sebagai lembaga sosial yang memiliki peranan penting di dalam membentuk karakter dan kepribadian anak-anak. Rasa kebersamaan dan kesetiaan akhirnya menjadi terpupuk dan tumbuh di antara anak-anak, yang lambat laun menyadari bahwa mereka telah menjadi anggota kebersamaan (kelompok) yang besar, yakni Islam.

Bila demikian halnya, menjadi jelaslah bahwa pendidikan yang didapati Sultan Mahmud Riayat Syah, niscayalah terutama dari lingkungan istana. Kerajaan Riau-Lingga-johor-Pahang adalah satu di antara kerajaan yang besar di Nusantara, sebagai kerajaan yang melekat de» ngan adat-istadat Melayu. Apabila Islam telah menjadi agama kerajaan dan segenap rakyatnya, maka kerajaan telah mengambil Islam sebagai agama yang mematrikan sendi-sendi Melayu dengan Islam sebagai satu dan kesatuan. Oleh karena itu sudah barang tentu menjadi wujud ajaran Islam di dalam pelaksanaan pemerintahan dan demikianlah pula di dalam pendidikannya. Niscayalah Daeng Kamboja, Raja Haji, dan para ibundanya sudah melatih Sultan Mahmud Ri’ayat Syah untuk me. lakukan berbagai perkara bagi dirinya secara pribadi, pemerintahan, ekonomi, perperangan, dan sebagainya. Di dalam keluarga, pelatihan itu penting sehingga ketika anak telah dewasa dia akan berbuat orba» gaimana patutnya. Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Betar menegas. kan, yang menekankan sangat mustahaknya pelatihan bagi anak anak, Apabila anak tidak dilatih/[ika besar bapanya letih. Tak ada keraguan bahwa Mahmud sudah dididik dengan pendidikan umum dan agama Islam dan sudah pula dilatih dengan sebaik-baiknya, terutama oleh Daeng Kamboja dan Raja Haji sehingga pantaslah akhirnya Baginda menjadi sultan terbesar dan sukses di antara jajaran sultan Kerajaan Melayu Bintan, Melaka, hingga Riau-Lingga.

Berkenaan dengan penjelasan di atas dapat dikaitkan dengan pen. dapat Parsudi Suparlan dan S. Budhisantoso dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya yang membedakan orang Melayu dari golongan-golongan penduduk lainnya di nusantara, terutama di masa lampau, adalah pola kehidupannya yang berorientasi kepada kelautan, agama Islam sebagai pedoman utama dalam kehidupan mereka, dan kelonggaran dalam strukturstruktur sosialnya. Karena orientasi kehidupan mereka dan karena kedudukan komunitas-komunitas mereka di pantai yang merupakan daerah terdepan dari berbagai kontak hubun’ gan dengan dunia luar, orang Melayu itu pula yang sebenarnya paling awal mengenal agama Islam. Oleh karena itu, ajarannjaran agama lslam dapat meresap dalam tradisi-tradisi yang berlaku dan menyelir muti berbagai upcara-upacara dan tindakanctlndakan simbolik yang pada dasarnya bukan Islam. Kedudukan mereka yang berada digaris terdepan dalam berbagai kontak kebudayaan dengan dunia luar yang berlangsung secara terus-menerus, termasuk kontakokontak dengan dunia Islam, mempermudah penyebaran agama Islam dalam kehidupan orang Melayu. (Budisantoso, dkk., 1996A}.

Bagi Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, niscayalah sejarah panjang Keme jaan Riau-Lingga-lohor-Pahang sejak Kerajaan Bintan, Temasik, lain Melaka, kemudian di Bintan, ke Kampar, dan di labor, menjadi hamil penting bagi mata hati dan pikirannya.Bagaimana pasang-surut, turunnaik, jatuh-bangun kerajaan Melayu ini akibat terjadinya sengketa, perebutan kekuasaan, dan perang saudara di antara anak-anak atau keturunan raja dan perperangan dengan Portugis dan Belanda, telah memberi pemahaman yang mendalam bagi pikiran, sikap, dan tindakan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Besar Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Iohor-Pahang.

Demikianlah pula perihal acapkali muncul atau terjadinya perselisihan, silang-sengketa, yang menyangkut perkara kekuasaan dan hartabenda antara pihak Melayu dengan pihak Bugis dan puak-puak lainnya di dalam kerajaan, menjadi tempaan dan pemikiran tersendiri pula oleh Sultan Mahmud. Mentelah lagi, perkara kepicikan Belanda terhadap lawan-lawannya senantiasa mengiming-imingi dengan berbagai janji dan melakukan perjanjian, tetapi senantiasa tiada ditepati oleh Belanda. Beliau akhirnya menjadi paham benar tentang akal bulus, niat busuk, dan siasat licik Belnda. Beliau niscayalah mempunyai pemikiran dan sikap untuk mengambil kebijakan dan tindakan agar perkara-perkara yang tiada patut dan dapat merusak kedaulatan negeri itu dapat diakhiri dan berjalan dengan penuh persaudaraan, kekeluargaan, damai, dan tenteram. Kelak Sultan Mahmud Ri’ayat Syah pun mengukuhkan kembali perjanjian atau Sumpah Setia Melayu-Bugis dan memberi taman-laman hidup dan kehidupan kepada berbagai puak, antara lain orang Cina, di dalam Riau dan daerah takluknya. Menjadi jelaslah pula bahwa beliau telah berjasa besar dan luar biasa kepada bangsa di dalam pembauran dan perbauran kebangsaan.

 

Sumber : Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah yang diPertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761-1812)