Tari Merawai, Tarian Orang Suku Laut

Rawai dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari tali atau rotan yang direntangkan dan diikatkan beberapa buah kail. Merawai dapat diartikan cara menangkap ikan dengan menggunakan rawai atau memasang rawai. Tari Merawai merupakan tarian orang suku laut lingga. Orang Laut merupakan kelompok masyarakat yang masih tergolong tertinggal dan hidup sangat sederhana, namun mereka mempunyai juga seni tari tradisional. Sebagai masyarakat maritim seni tari tradisional Orang Laut berhubungan dengan kehidupan mereka sebagai nelayan tradisional. Tarian tradisional yang hidup dan berkembang di tengah kehidupan Orang Laut yakni tari merawai. Tari merawai mengisahkan kehidupan Orang Laut yang bersama-sama menggunakan satu sampan pergi merawai mencari ikan. Tari merawai dilaksanakan untuk menghibur masyarakat atau pun acara tertentu. Merawai masuk kategori tarian hampir punah karena jarang ditampilkan

Di Kabupetan Lingga terdapat komunitas orang laut yang hidup di atas perahu kecil yakni sampan, suka berpindah tempat dan animisme. Pada masa sekarang sebagian besar telah menetap di suatu tempat dan memeluk  agama. Orang laut hidup sangat sederhana, mereka yang masih hidup di atas sampan hanya ditutupi kajang sebagai pelindung dari terik panas dan hujan. Untuk menafkahi hidup, mereka mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti tempuling, tombak dan serampang.

Diperkirakan sekitar tahun  2500 – 1500 SM sebagai bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) merupakan asal mula kedatangan Orang Suku Laut yang terdapat di Kepulauan Riau yang  kemudian menyebar ke Wilayah Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir) dikarenakan terjadinya arus migrasi besar oleh bangsa deutro Melayu pasca 1500 SM, kelompok bangsa proto melayu yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai orang suku laut.

Sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa  Batin ( kepala klan ), kesultanan Malaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda ( 1911 – 1942 ), Jepang ( 1942 – 1945 ), dan Republik Indonesia ( 1949 sampai sekarang. Vivienne Wee ( 1993 ) berpendapat Orang Laut adalah keturunan Raja-raja Melayu, ini berdasarkan analisis pada naskah Sulalatus Salatin.

            Dalam tarian merawai, terdapat beberapa penari yang meniru gerak orang-orang yang merawai di atas satu sampan. Gerak yang ditiru dalam bentuk tarian yaitu

  1. Ada satu si tukang rawai
  2. Ada satu si tukang timba
  3. Ada satu si tukang dayung
  4. Ada satu si tukang kemudi

Tarian dilakukan dengan berbaris, berkeliling mengitari panggung. Baris pertama menirukan orang melempar pancing kiri dan kanan, baris kedua menirukan orang berkayuh sampan, baris ketiga menirukan orang menimba air dan baris terakhir paling belakang, beradegan seperti orang mengemudi sampan. Sambil menari berkeliling mengitari panggung atau tempat diiring dengan  nyanyian yang menceritakan adegan tari merawai. Tari merawai juga diiringi dengan musik gong dan pukulan gendang panjang.

Bait lagu yang sederhana dan pendek sangat familiar bagi masyarakat, termasuk bagi Orang Melayu yang ada di Daik, termasuk yang bukan Orang Laut.

Ada satu si tukang rawai

Ada satu si tukang timba

Ada satu si tukang dayung

Ada satu si tukang kemudi

Ada juga variasi lain diakhir lagu ditambah bait:

 Keliut keladi, kalau kurang tambah lagi

Bait lagu yang terakhir dilagukan saat para penari meminta para penonton menyawer atau memberikan uang saat mereka tampilkan.

Ada dua versi asal usul tari merawai ini. Versi pertama, tari merawai merupakan tarian asli Orang Laut yang ada di Pulau Lipan, Desa Penuba, Kecamatan Selayar, Kabupaten Lingga.. Sedangkan Versi kedua menyebutkan, tarian merawai adalah tarian orang pesisir dan tepat disebut menjadi milik Orang Laut. Alasannya sejumlah Orang Laut yang ada di Lingga, seperti Kelumu maupun di Senayang tak kenal dengan tari merawai. Hanya Orang Laut dari Pulau Lipan yang akrab dengan istilah tari merawai ini.  

Sumber Poto: Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga