Tahun 1722, setelah berakhirnya perang perebutan takhta kesultanan Johor antara Tengku Sulaiman yang dibantu Upu-Upu Bugis Lima bersaudara melawan Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah alas RajaKecik, dan berdirinya kerajaan baru, yaitu kesultanan Riau, maka bekaspusat pemerintahan kesultanan Johor di Ulu Riau atau Pangkalan Rama itu, seperti istana dan benteng serta pelabuhan ,di Sungai Riau (Carang), berada sepenuhnya dalam kekuasaan Tengku Sutaraman sebagai Sultan atau Yang Dipertuan Besar (YDB) dibantu ‘Daeng Marewa sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) atau Wakil Sultan. Struktur pemerintahan yang baru di Kesultanan Riau itu, sangat dipengaruhi tradisi pemerintahan di kerajaan Luwu dan Bone, atau tradisi Bugis. Ada beberapa jabatan lain yang penting, yang sebelumnya dalam tradisi Melaka, belum ada, sekarang dipakai, seperti Raja Tua (Penasihat Raja dan pegang adat istiadat). Di zamanMelaka atau Johor, jabatan ini sama dengan Paduka Raja. Demikianjuga Silawatang (panglima) dan lainnya. Meskipun jabatan menurut tradusi Melayu seperti Bendahara Paduka Raja,Temenggung Maharaja, Indera Bungsu, Laksamana, dan lainnya tetap ada. Hanya saja kekuasaan mereka tidaklah seperti masakerajaan Melayu Johor. Sebagian besar kekuasaan mereka itu sudah diambil alih oleh YDM. Bahkan sudah ada rencana jabatanTemenggung pun hendak dihapus dan diambil alih oleh YDM (Aswandi Syahri, Temenggung Abdul Jamal, 2007).
Inilah yang menunjukkan bahwa kesultanan Riau, Johor Pahang dan Lingga yang berdiri tahun 1722 di Ulu Riau itu bukan penerus Kesultanan Johor. Disamping itu, sejak didirikan dan beribukota di Ulu Riau, pusat pemerintahan kerajaan Riau tidak pernah lagi pindah ke daratan Johor, sampai tahun 1787, ketika Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan ibukota pemerintahan Riau ke Daik, Lingga. Itu pun masih dalam wilayah Kepulauan Riau. Demikian juga tahun 1900 ketika pindah ke Penyengat, di muara sungai Riau (Carang). Itu pun masih dalam wilayah Kepulauan Riau.
Dengan sistem pemerintahan yang baru, tradisi Melayu Bugis, Sungai Riau (Carang) dan Pusat pemerintahannya di Ulu Riau, mulai menggelat dan bangkit. Baik sebagai pusat pemerintahan, maupun sebagai pusat perdagangan. Untuk menghidupkan perdagangan, dan membangun jaringan aliansi Bugis, Daeng Marewa, YDM I (1722-1728) dikatakan telah mendatang beratus orang-orang Bugis dani Bone, Makassar, Luwu dan lainnya, (Aswandi Syahri, 2007). Sebagian dari mereka ada yang diberi jabatan pemerintahan, dan sebagian lain menjadi pedagang, dan meneruskan tradisi mereka sebagai para pelayar dan pengembara laut.
Namun konffik politik Melayu-Bugis tetap jadi duri dalam daging yang menyebab jalan pemerintahan tidak maksimal. Terlebih pada masa YDM III dipegang oleh Daeng Kamboja (1747-1777). Pengganti Daeng Celak. Pemilihan Daeng Kamboja sebagai pengganti Daeng Celak sempat tertunda karena pihak Melayu menolaknya.
Penolakan pihak Melayu tetap keras, karena itu selama hamper 3 tahun, Daeng Kamboja menjalankan tugasnya sebagai YDM dari Linggi, di selatan Selangor. Dia baru datang ke Riau, ketika YDB Sulaman Badrul Alam Syah, wafat tahun 1760, dan dua pengganti Sulaiman yang dilantik di Selangor, yaitu Abdul Jalil Syah Raja Dibaroh dan Ahmad Riayat Syah, wafat meskipun belum setahun memerintah. YDM Daeng Kamboja, harus mengangkat YDB yang baru penggantinya YDB yang wafat. Dan tahun 1762, dia merajakan Tengku Mahmud ibn Tengku Abdul Jalil atau Abdul Jalil Raja Dibaroh, sebagai YDB yang baru. Sultan Mahmud Riayat Syah, Sultan berdarah campuran Melayu-Bugis.