
Kepulauan Riau memang sangat kaya dengan keragaman seni dan budayanya, seperti halnya keragam bentuk dari rumah adat yang terdapat di kabupaten dan kota di Provinsi Kepri yaitu selaso jatoh kembar. Keragaman tersebut terjadi karena secara geografi provinsi ini terpisahkan laut antara satu pulau dengan lainnya. Mungkin jaman dahulu faktor tersebut menjadi akibat dari sulitnya komunikasi sehingga saling mengisolasi diri. Maka antara satu daerah dan lainya walau agak mirip tapi bentuk budaya dan rumahnya sedikit berbeda.
Namun dari keragaman bentuk rumah tradisional yang terdapat di Kepri, ada kesamaan jenis dan gaya arsitektur. Dari jenisnya, rumah tradisional ini pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan bentuk bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama, dan memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung, dan lain-lain. Keumuman berikutnya terletak pada arah rumah tradisional Kepri yang dibangun menghadap ke sungai. Ini terjadi karena masyarakat tardisional Kepri menggunakan sungai sebagai sarana transportasi.
Jika dideskripsikan, denah rumah adat ini hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo.Kemudian bentuk rumah mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dan lain-lain, sertaan pada bagian belakang terdapat dapur.
Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh.Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas yang disebut Tunjuk Langit yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu disebut dengan Selaso. Selaso jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.
Rumah Selaso Jatuh Kembar dihiasi corak dasar Melayu umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Padahal sejak jaman dahulu gaya arsitektur bangunan dan seni ukir sangat kuat dipengaruhi oleh corak Hindu-Budha. Peralihan gaya pada corak ini terjadi karena orang Melayu pada umumnya beragama Islam. Sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus pada hal-hal yang berbau “keberhalaan”.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik (Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.