PUSAT PEMERINTAHAN LINGGA

Pendapat tentang asal nama Lingga, menurut sumber sejarah dari Negeri Tiongkok yang dinyatakan dalam buku Historical Notes on Indonesia and Malaya, berasal dari kata ling yang berarti “naga” dan kata ge yang artinya “gigi”. Mungkin dihubungkan dengan Gunung Daik kelihatan seperti gigi naga. Nama itu diharapkan akan memberi kemajuan, kemakmuran, kejayaan bagi Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Setelah kemenangan akbar dalam Perang Riau II, Sultan Mahmud Riayat Syah memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga. Beliau dengan pembesar kerajaan dan rakyat 200 perahu meninggalkan Riau menuju Lingga (Daik), lalu Baginda membangun pusat pemerintahan di Daik. Bendahara Abdul Majid dan angkatannya sebanyak 150 perahu bertolak ke Pahang. Sejak itu, orang-orang Melayu dan peranakan Bugis berpindah ke Bulang, Johor, Selangor, Terengganu, Kalimantan, dan ke pulau-pulau lain di Kepulauan Riau. Riau ditinggalkan kosong, kecuali ditempati oleh orang-orang Tionghoa, yang bekerja sebagai buruh perkebunan gambir dan lada hitam milik orang Melayu.

Sultan Mahmud memprediksikan bahwa Belanda pasti akan datang kembali menyerang Riau dengan kekuatan yang lebih besar. Dalam hal ini, kedaulatan kerajaan dan keamanan rakyat harus dipertahankan.

Seiring dengan perjalanan waktu, sebagaimana dikisahkan Netscher bahwa Belanda yang berada di Melaka mengetahui bahwa tokoh intelektual yang mengalahkan dan mengusir pasukan mereka (Belanda) di Tanjungpinang adalah Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda V yaitu Raja Ali pengganti Raja Haji Fisabilillah setelah wafat dalam peperangan melawan Belanda di Teluk Ketapang Melaka tahun 1784. Dalam peperangan ini, sebagaimana diungkap dalam Perang Riau 1782-1784 Sultan Mahmud Riayat Syah ikut serta.

Sultan Mahmud Riayat Syah berpantang mengalah terhadap Belanda. Beliau dengan satria melawan Belanda. Tanggal 10-13 Mei 1787 Sultan berperang melawan penjajah ini di perairan Riau,Tanjungpinang dan sekitarnya. Dalam peperangan ini, Sultan Mahmud mendatangkan bantuannya dari Tempasuk (Kalimantan) dan tentara Sulu dari Filipina. Kemudahan memperoleh bantuan tersebut, berkat hubungan yang dilakukan Sultan yang intensif dengan pemerintahan kerajaan kedua daerah tersebut. Akibat peperangan ini, Garnizun Belanda di Tanjungpinang diranapkan (dihancurkan) dan Residen Belanda di Riau bernama David Ruhde dan anak buahnya yang tersisa dipaksa Sultan Mahmud meninggalkan Tanjungpinang. Perang Riau II (dua) ini dimenanginya Sultan Mahmud Riayat Syah dengan gemilang.

Pada Agustus 1787 Belanda kembali mengirim satu eskader dipimpin Jacob Pieter van Braam dengan tugas menghukum Sultan Mahmud dan membangun kembali benteng Tanjungpinang yang telah hancur. Karena Sultan telah pindah, maka van Braam tak dapat mengeksekusi perintah untuk menghukum (membunuh) Sultan Mahmud Riayat Syah.

Sultan Mahmud Riayat Syah bertujuan hendak menyerang kembali dan mengusir Belanda dari Melaka sehingga Melaka sebagai simbol kejayaan Melayu dapat direbut kembali. Untuk itu, diperlukan daerah atau wilayah yang menjadi pusat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang tak terlalu terbuka, strategis, dan tak mudah dijangkau oleh Belanda. Sultan Mahmud hendak melaksanakan rencana peperangan panjang, yakni perang laut. Baginda hendak mengadakan perang lanjutan dengan Belanda dengan strategi perang yang lebih canggih dan angkatan yang lebih kuat lagi.

 

 

Sumber : Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah yang diPertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761-1812)