PENYENGAT INDERASAKTI PULAU WARISAN DUNIA

Orang Inggris menyebutnya the island of Mars, Peningat, atau Pulo Pinigad (de Bruyn Kops, 1855, Begbie, 1967, Abu Hassan Sham, 1993). Bahkan, mereka menyebutnya Peningat of Mars. Orang Belanda pula menyebutnya Penjengat atau Penjingat (van Ronkel, 1921; Abu Hassan Sham, 1993). Itulah sebutan yang digunakan oleh bangsa Eropa, khususnya Inggris dan Belanda, terhadap Pulau Penyengat, sebuah pulau yang berada dalam wilayah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau sekarang.

Pulau itu diberi nama Penyengat yang diambil dari nama sejenis hewan, yakni tembuan atau tabuhan. Menurut cerita masyarakat tempatan, suatu hari hewan berbisa itu menggigit seorang anak buah kapal (ABK) yang sedang mengambil air bersih di pulau mungil itu. Malang bagi si ABK, sengatan penyengat itu menyebabkan dia jatuh pingsan. Berdasarkan peristiwa itu, oleh masyarakat diberilah nama pulau itu Pulau Penyengat. Setelah menjadi pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda Kesultanan Riau, di belakang nama itu ditambah lagi dengan Inderasakti sehingga secara lengkap disebut Pulau Penyengat Indera- sakti. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata “kesaktian sengatan” Pulau Penyengat sanggup menjalar ke sebagian besar negeri-negeri ternama di dunia, terutama pada abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20.

Pulau Penyengat terletak di sebelah barat Kota Tanjungpinang. Keduanya dihubungkan oleh Selat Riau dan berjarak sekitar 1,5 km dari Kota Tanjungpinang. Panjang Pulau Penyengat lebih kurang 2 km dan lebarnya 850 m. Setelah sebelumnya , 1806, menjadi pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda dan sejak 1900 juga menjadi tempat kedudukan Yang Dipertuan Besar (Sultan) Riau-Lingga, sekarang Pulau Penyengat merupakan salah satu kelurahan di wilayah administrasi pemerintahan Kota Tanjungpinang. Dengan demikian, kejayaan masa lalulah yang membuat Penyengat Inderasakti menjadi terkenal.

Kemasyhuran Pulau Penyengat tak semata-mata karena ianya pernah menjadi pusat pemerintahan Kesul- tanan Riau. Lebih daripada itu, Penyengat menjelma menjadi Inderasakti karena dari pulau itu sinar gemala mestika tamadun atau peradaban Melayu pernah dipancarkan secara cemerlang dan gemilang ke seluruh penjuru dunia.

Pulau Penyengat yang mungil itu ternyata memiliki riwayat yang sungguh membanggakan. Pulau itu menjadi satu-satunya pulau di dunia yang digunakan sebagai suatu anugerah pernikahan agung Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertuan Besar Riau (1761-1812) dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah.

Pada 1803 Sultan Mahmud Riayat Syah menitahkan pembukaan Pulau Penyengat untuk dijadikan tempat kedudukan istri Baginda, Engku Puteri Raja Hamidah. Sebelum itu, Engku Puteri tinggal bersama saudara sepupu nya Raja Ali ibni Daeng Kamboja, Yang Dipertuan Muda V Kesultanan Riau (1803-1806) di Pulau Bayan. Sementara Sultan Mahmud Riayat Syah sejak 24 Juli 1787 telah beristiana di Daik, Pulau Lingga, yang sejak itu telah dijadikan tempat kedudukan baginda sebagai Yang Diper- tuan Besar Sultan Riau.

Titah pembukaan Pulau Penyengat oleh Sultan Mahmud Riayat Syah untuk dijadikan tempat bermastautin istri baginda menyebabkan Pulau Penyengat menjelma menjadi Bandar Riau yang sangat nyaman lagi teramat indah. Segala infrastruktur yang diperlukan seperti istana, jalan, taman, dan sebagainya didirikan. Apatah lagi, tiga tahun kemudian (1808 ) Raja Jaafar ibni Raja Haji Fisabilillah memindahkan pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda ke Pulau Penyengat.

Akibatnya, pembangunan pulau itu semakin pesat dilakukan. Penyengat tak hanya menjadi Pulau Anugerah sepasang suami-istri sebagai simbol cinta sejati mereka berdua. Pulau itu juga menjadi bukti kepiawaian, kecerdasan, kearifan, dan kecintaan Yang Dipertuan Besar Riau itu bersama istrinya kepada negeri dan seluruh rakyatnya. Penyatuan Sultan Mahmud Riayat Syah dan Engku Puteri Raja Hamidah dalam ikatan suci suami-istri menyebabkan perhubungan antara masyarakat Melayu dan keturunan Bugis dapat diharmoniskan kembali.

Sebelum itu, keharmonisan kedua kelompok masya-rakat itu cenderung mengalami pasang-surut dan tak jarang memicu ketegangan di antara mereka. Apatah lagi, pihak Kompeni Belanda memang ikut bermain untuk memisahkan kedua kelompok masyarakat itu karena jika mereka bersatu “bagai mata hitam dan mata putih” yang tak dapat dipisah- kan—sebagaimana diamanatkan oleh Sumpah Setia Melayu- Bugis—keharmonisan itu akan senantiasa menjadi ancaman bagi kedudukan Kompeni Belanda di wilayah Kesultanan Riau, bahkan di nusantara.

Dengan dibangunnya Pulau Penyengat sebagai kawasan permukiman yang aman, nyaman, indah, lagi makmur lengkap dengan segala infrastrukturnya, tak heranlah kemudian ianya menjadi taman para penulis yang menjadikan kalam sebagai alat perjuangan. Di mana pun di dunia ini karya-karya besar lahir dari situasi politik yang stabil dan perekonomian yang maju. Sultan ternyata mampu menciptakan kondisi yang ideal itu. Dengan demikian, Sultan Mahmud Riayat Syah yang didukung sepenuhnya oleh istri baginda, Engku Puteri Raja Hamidah, merupakan tokoh utama yang menjelmakan Kesultanan Riau, khususnya Penyengat, sebagai pusat tamadun atau peradaban Melayu terbesar dalam sejarah Kesultanan Melayu yang pernah berdiri di nusantara.

Memang terdapat Puncak Tamadun Melayu. Puncak pertama kejayaan tamadun Melayu terjadi sejak abad ke-7 (633 M) sampai dengan abad keempat belas (1397 M.) yaitu pada masa Kemaharajaan Sriwijaya. Menurut Kong Yuan Zhi (1993: 1), pada November 671 Yi Jing (635-713), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai I-tsing, berlayar dari Guangzhou (Kanton) menuju India dalam kapasitasnya sebagai pendeta agama Budha. Kurang dari dua puluh hari beliau sampai di Sriwijaya, yang waktu itu sudah menjadi pusat pengkajian ilmu agama Budha di Asia Tenggara. Di Sriwijayalah selama lebih kurang setengah tahun Yi Jing belajar sabdawidya (tata bahasa Sansekerta) sebagai persiapan melanjutkan perjalanannya ke India.

Setelah tiga belas tahun belajar di India (Tamralipiti/ Tamluk), beliau kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana selama empat tahun (686-689) untuk menyalin kitab-kitab suci agama Budha. Setelah itu, beliau kembali ke negerinya, tetapi pada tahun yang sama beliau datang kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana sampai 695.

Dari catatan Yi Jing itulah diketahui bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Kunlun, yang dipakai secara luas sebagai bahasa resmi kerajaan, bahasa agama, bahasa ilmu dan pengetahun, bahasa perdagangan, dan bahasa dalam komunikasi sehari-hari masyarakat. Yi Jing menyebutkan bahwa bahasa Kunlun telah dipelajari dan dikuasai oleh para pendeta agama Budha Dinasti Tang. Mereka menggunakan bahasa Kunlun untuk menyebarkan agama Budha di Asia Tenggara. Dengan demikian, bahasa Kunlun menjadi bahasa kedua para pendeta itu. Ringkasnya, bahasa Kunlun merupakan bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya dengan seluruh daerah taklukannya yang meliputi Asia Tenggara. Pada masa itu bahasa Kunlun telah menjadi bahasa internasional. Ternyata, bahasa Kunlun yang disebut Yi Jing dalam catatannya itu ialah bahasa Melayu Kuno.

Pada masa Sriwijaya itu bahasa Melayu telah bertem- bung dengan bahasa Sansekerta yang dibawa oleh kebu- dayaan India. Bangsa India menyebut bahasa Melayu sebagai Dwipantara sejak abad pertama masehi lagi (Levi, 1931 dalam Hassim dkk., 2010: 3). Pertembungan dengan bahasa Sansekerta menyebabkan bahasa Melayu mengalami evolusi yang pertama. Bahasa Melayu telah berkembang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan mampu menyampaikan gagasan-gagasan baru yang tinggi, yang sebelumnya tak ada dalam kebudayaan Melayu (Ismail Hussein, 1966: 10-11).

Dari perenggan di atas jelaslah bahwa bahasa Melayu (Kuno) sudah tersebar luas di Asia Tenggara dan mencapai puncak kejayaan pertamanya sejak abad ketujuh karena digunakan sebagai bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya. Itu pulalah sebabnya, bahasa Melayu mampu menjadi lingua franca dan menjadi bahasa internasional di Asia Tenggara. Masa Sriwijaya itu dikenal sebagai tradisi Melayu- Budha dengan tinggalannya berupa prasasti-prasasti di Kedukan Bukit, Palembang (tahun Saka 605 = 683 M.), di Talang Tuwo, Palembang (tahun Saka 606 = 864 M.), di Kota Kapur, Bangka (tahun Saka 608 = 686 M.), di Karang Berahi, hulu Sungai Merangin (tahun Saka 608 = 686 M.). Semua prasasti itu menggunakan huruf Pallawa (India Selatan) dan bercampur dengan kata serapan dari bahasa Sansekerta.

Puncak Kedua: Zaman Melaka setelah masa kegemi- langan dan kecemerlangan Sriwijaya meredup, pusat tamadun Melayu berpindah-pindah. Perpindahan itu dimulai dari Bintan, Melaka, Johor, Bintan kembali, Lingga, dan Penyengat Indera Sakti.

Antara abad ke-12 hingga abad ke-13 berdirilah kerajaan Melayu di Selat Melaka. Kerajaan Melayu tua itu dikenal dengan nama Kerajaan Bintan-Temasik, yang wilayah kekuasaannya meliputi Riau dan Semenanjung Tanah Melayu. Sesudah masa Bintan-Temasik inilah termasyhur pula Kerajaan Melaka sejak abad ke-14.

Pada awal abad kelima belas Kesultanan Melaka sudah menjadi pusat perdagangan dunia di sebelah timur yang maju pesat. Para saudagar yang datang dari Persia, Gujarat, dan Pasai, sambil berniaga, juga menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah kekuasaan Melaka. Tak hanya itu, mereka pun menyebarkan bahasa Melayu karena penduduk tempatan yang mereka kunjungi tak memahami bahasa para pedagang itu, begitu pula sebaliknya. Jalan yang harus ditempuh ialah menggunakan bahasa Melayu. Bersamaan dengan masa keemasan Melaka ini, dimulailah tamadun Melayu-Islam. Bahasa Melayu pun mendapat pengaruh bahasa Arab dan bangsa-bangsa pedagang itu (Arab, Parsi, dan lain-lain) menjadikannya sebagai bahasa kedua mereka. Menurut Ensiklopedia Bahasa Utama Dunia (1998:

56), ulama Gujarat seperti Nuruddin al-Raniri berkarya dan berdakwah dengan menggunakan bahasa Melayu. Begitu pula Francis Xavier yang menyampaikan summon dalam bahasa Melayu ketika beliau berada di Kepulauan Maluku. Masuknya Islam ke dunia Melayu semakin meningkatkan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional dalam dunia Islam dan menjadi bahasa kedua terbesar setelah bahasa Arab (www.prihatin.net).

Pada masa kejayaan Melaka itu bahasa dan kesusas- traan Melayu turut berkembang. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, bahasa perdagangan, bahasa ilmu- pengetahuan, di samping bahasa perhubungan sehari-hari rakyat. Bahasa Melayu yang berkembang pada zaman Melaka ini disebut bahasa Melayu Melaka. Malangnya, pada 1511 Kesultanan Melaka dapat ditaklukkan oleh Portugis dan lebih tragis lagi, khazanah kebudayaan zaman Melaka itu musnah terbakar ketika terjadi penyerbuan oleh penjajah itu.

Puncak Ketiga: Zaman Riau-Lingga-Johor-Pahang. Setelah Kesultanan Melaka jatuh, kepemimpinan Melayu dilanjutkan oleh putra Sultan Mahmud Syah I yang bergelar Sultan Ala’uddin Riayat Syah II. Baginda mendirikan negara Melayu baru yang pemerintahannya berpusat di Johor pada 1529. Baginda berkali-kali berusaha untuk merebut kembali Melaka, tetapi ternyata tak berjaya.

Walaupun begitu, di Johor ini dilakukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan kesusastraan Melayu untuk menggantikan khazanah Melaka yang telah musnah. Di samping itu, diterbitkan pula karya-karya baru. Di antara karya tradisi Johor itu yang terkenal ialah Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu) karya Tun Muhammad Seri Lanang, Bendahara Paduka Raja Johor. Karya yang amat masyhur ini mulai ditulis di Johor pada 1535 dan selesai pada 1021 H. bersamaan dengan 13 Mei 1612 di Lingga.

Bahasa yang digunakan dalam tradisi Johor ini biasa disebut bahasa Melayu Riau-Johor atau bahasa Melayu Johor-Riau. Di Indonesia bahasa itu dikenal dengan nama bahasa Melayu Riau, sedangkan di Malaysia biasa juga disebut bahasa Melayu Johor atau bahasa Melayu Johor- Riau.

Misi Belanda di bawah pimpinan William Velentijn yang berkunjung ke Riau (Kepulauan) pada 2 Mei 1687 mendapati Riau (Tanjungpinang sekarang) sebagai bandar perdagangan yang maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Riau dalam bidang perdagangan dan kelautan umumnya.

Pada 1778 perdagangan di Kesultanan Riau-Johor- Pahang-Lingga bertambah maju dengan pesat. Dengan sendirinya, rakyat hidup makmur, yang diikuti oleh kehidupan beragama (Islam) yang berkembang pesat. Kala itu pemerintahan dipimpin oleh Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) dan Yang Dipertuan Muda IV Riau- Johor-Pahang- Lingga, Raja Haji (1777—1784). Kedua pemimpin itu membangun koalisi nusantara yang terdiri atas Batu Bahara, Siak, Inderagiri, Jambi, pesisir Kalimantan, Selangor, Naning, dan Rembau, bahkan mencoba berh- ubungan dengan para raja di Jawa dalam melawan kompeni Belanda untuk membela marwah bangsanya. Akhirnya, Raja Haji syahid di medan perang pada 18 Juni 1784 di Teluk Ketapang, yang setelah kemangkatannya diberi gelar Fisabilillah di belakang nama baginda.

Menurut Francois Valentijn, pendeta sekaligus pakar sejarah berkebangsaan Belanda, pada abad ke-18 bahasa Melayu di bawah Kesultanan Riau-Johor telah mengalami kemajuan pesat dan telah menyamai bahasa-bahasa Eropa. Berikut ini penuturannya yang dikutip dari Nik Sapiah Karim dkk. (2003) dan Hassim dkk. (2010) “Bahasa mereka, bahasa Melayu, tak hanya dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di semua Negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang dipahami di mana- mana saja oleh setiap orang, tak ubahnya seperti bahasa Perancis atau Latin di Eropa atau bahasa Lingua Franca di Italia dan di Levant.

Sungguh luas persebaran bahasa Melayu itu sehingga kalau kita memahaminya tak mungkin kita kehilangan jejak (tersesat) karena bahasa itu bukan saja dipahami di Persia, bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sampai ke Kepulauan Filipina.” Dengan keterangan Francois Valentijn itu, jelaslah bahwa bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama masyarakat di Kepulauan Melayu. Bersamaan dengan itu, bahasa Melayu bukan pula baru digunakan sebagai bahasa kedua oleh seluruh penduduk nusantara ini. Hal ini perlu digarisbawahi dalam kita menyikapi persilangan pendapat tentang asal- usul bahasa Indonesia karena ada sarjana yang mengemu- kakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari pijin atau kreol Melayu (bahasa Melayu pasar).

Pada 1824, melalui Treaty of London atau Traktat London (Perjanjian London), Kesultanan Riau dibagi dua. Riau-Lingga berada di bawah pengaruh Belanda, sedangkan Johor-Pahang di bawah Inggris.

Pada permulaan abad ke-19 di Singapura bersinar pula kepengarangan Munsyi Abdullah bin Munsyi Abdulkadir. Buah karyanya yang kesemuanya dalam bahasa Melayu, antara lain, Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Dawa ul Kulub (?), Syair Kampung Gelam Terbakar (1847), Hikayat Abdullah (1849), Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah (1854). Selain itu, karya-karya terjemahannya, antara lain, Hikayat Pancatanderan (1835), Injil Matheus (bersama Thomsen), Kisah Rasul-Rasul, dan Henry dan Pengasuhnya (bersama Paderi Keasberry).

Karya-karya Abdullah itu penting artinya bagi pengembangan bahasa Melayu. Apatah lagi karya-karyanya tak lagi bersifat istana sentris, sebagai langkah awal menuju tradisi Melayu modern. Puncak Keempat, yaitu Zaman Riau. Di Kesultanan Riau sejak separuh pertama abad ke-19 sampai awal abad ke-20 kreativitas pengembangan ilmu-pengetahuan, literasi, dan tamadun umumnya mengalir dengan subur. Di sini aktivitas intelektual, yang menjadi ciri khas tamadun Melayu sejak zaman Sriwijaya, tumbuh merecup kembali, bahkan lebih intensif. Tak berlebihanlah jika dikatakan bahwa pada abad itu Kesultanan Riau menjadi pusat tamadun Melayu- Islam, pasca Kesultanan Melaka. Dari kalangan penulis keturunan Diraja Melayu, kesemuanya itu dimulai dari Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Fisabilillah. Akan tetapi, beliau tak berjuang sendiri karena sebelum itu telah ada Lebai Abu, dari kalangan rakyat biasa, yang berkarya lebih awal, 1820. Dan, tapak semua aktivitas dan kreativitas itu berlangsung di Pulau Penyengat Indera Sakti.

Walaupun begitu, petuah putranyalah, Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Engku Haji Tua, yang paling memacu dan memicu semangat berkarya dalam bidang tulis-menulis, budaya literasi, dan atau pengembangan tradisi intelektual itu. Di dalam mukadimah karya beliau Bustan al-Katibin (1850) yaitu buku tata bahasa dan ejaan bahasa Melayu pertama di dunia yang ditulis oleh orang Melayu, kita disajikan hidangan berharga berikut ini.

“Segala pekerjaan pedang itu boleh diperbuat dengan kalam, adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh diperbuat oleh pedang… Dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores kalam jadi tersarung.”

Kalam yang berteraskan budilah yang mampu mem- buat beribu-ribu dan berlaksa-laksa pedang yang telah terhunus jadi tersarung. Memang, ketika minda manusia telah tercerahkan, dengan apa pun bentuk pengabdian hanya demi Sang Khalik, kehadiran pedang tak lagi diperlukan. Hal itu mengingatkan kita akan wahyu pertama Allah SWT kepada rasul pilihannya Nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam Al-Quran, Surat Al-‘Alaq: 1-4, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajari (manusia) dengan kalam.”

Raja Ali Haji juga mengobarkan semangat mencipta dengan menggunakan kalam melalui syair Persia yang dikutipnya dalam buku yang disebutkan di atas. “Berkata kalam, aku ini raja (yang) memerintah akan dunia. Barang siapa yang mengambil akan daku dengan tangannya, tak dapat tiada aku sampaikan juga (dia) kepada  kerajaan(nya).”

Tak heranlah mengapa pekerjaan mengarang atau menulis sangat dimuliakan di lingkungan istana Kesultanan Riau. Para pembesar istana berasa hidup mereka belumlah lengkap walau telah menjabat suatu jabatan tinggi dan penting sebelum mereka menghasilkan karya tulis, entah karya bidang bahasa, sastra, atau karya-karya di bidang ilmu- pengetahuan lainnya.

Begitulah profesi mengarang menjadi begitu mulia dan diidam-idamkan oleh setiap orang. Kepengarangan jadinya bagaikan tali arus yang terus bergerak, walaupun kadang- kadang begitu deras dan pada ketika yang lain agak tenang,untuk mengantarkan suatu capaian tamadun yang cemerlang, gemilang, dan terbilang.

Pengarang Bilal Abu atau biasa juga disapa Lebai Abu atau Tuan Abu mengawali kedahsyatan kalam. Beliau sekurang-kurangnya menulis dua buah karya sastra. Karya- karya beliau itu ialah Syair Siti Zawiyah (1820) dan Syair Haris (1830).

Kemudian, bermulalah kepengarangan Raja Ahmad. Setelah dewasa, berkeluarga, dan menunaikan ibadah haji; Raja Ahmad dikenal dengan nama lengkap Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fisabilillah. Setakat ini beliau diketahui sebagai orang pertama dari kalangan Diraja Melayu yang menceburkan diri dalam dunia kepengarangan di Kesultanan Riau.

Dalam karir beliau sebagai penulis, Raja Ahmad Engku Haji Tua (ayahanda Raja Ali Haji) menulis empat buah buku:

  • Syair Engku Puteri (1831), (2) Syair Raksi (1831), dan (3) Syair Perang Johor (1844). Beliau juga mengerjakan kerangka awal buku Tuhfat al-Nafis (1865) yang kemudian disempurnakan dan diselesaikan oleh putranya, Raja Ali Seorang lagi penulis angkatan awal ini adalah Daeng Wuh. Beliau menulis Syair Sultan Yahya (1840).

Bilal Abu, Raja Ahmad Engku Haji Tua, dan Daeng Wuh merupakan perintis tradisi kepengarangan di Kesul- tanan Riau. Selain karya mereka, masih ada dua karya lagi yang belum diketahui pengarangnya yaitu Syair Menyambut Sultan Bentan (tanpa tahun) dan Syair Hari Kiamat, yang ditulis oleh penyair Arab yang telah lama bermastautin di Pulau Penyengat.

Raja Ali Haji (1809-1873) paling masyhur di antara kaum intelektual Riau kala itu. Beliau menulis dua buah buku dalam bidang bahasa (Melayu) yaitu Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Kedua-dua karya itu merupakan karya perintis dalam bidangnya (linguistik) dan karya pertama yang ditulis oleh orang Melayu.

Buah karyanya yang lain dalam bidang hukum, politik, dan pemerintahan yaitu Muqaddima Fi Intizam (1857) dan Tsamarat al-Muhimmah (dicetak pada 1858); bidang sejarah Silsilah Melayu dan Bugis (1865), Tuhfat Al-Nafis (1865), Peringatan Sejarah Negeri Johor, Tawarikh Al-Sugra, Tawarikh Al-Wusta , Tawarikh Al-Qubra, dan Sejarah Riau- Lingga dan Daerah Takluknya; bidang filsafat yang berbaur dengan puisi Gurindam Dua Belas (1847); dan bidang sastra (puisi), yang ada juga berbaur dengan bidang agama Syair Abdul Muluk (1846), Ikat-Ikatan Dua Belas Puji (1858), Syair Sinar Gemala Mestika Alam (dicetak 1895), Syair Suluh Pegawai (1866), Syair Siti Sianah (1866), Syair Warnasarie, Taman Permata, dan Syair Awai.

Raja Ali Haji juga diperkirakan menerjemahkan buku Futuh al-Syam karya Muhammad bin Umar Al-Wakili (Hasan Junus, 2002: 217-218). Buku tersebut diterbitkan dengan cetak batu (litografi) di Pulau Penyengat pada 1879. Dengan dua puluh karya pelbagai bidang yang diketahui sampai setakat ini, Raja Ali Haji mencatatkan dirinya sebagai penulis yang paling produktif dan paling kreatif dari generasi penulis Kesultanan Riau-Lingga.

Penulis sezaman dengan Raja Ali Haji yang juga sangat dikenal ialah Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau. Dari penulis ini, Kepulauan Riau mewarisi paling tidak lima buah buku. Karyanya dalam bidang bahasa ialah Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu-Johor (dua jilid: terbitan pertama 1868 dan kedua 1875, di Batavia). Karya-karyanya yang lain ialah Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu (1877), Hikayat Raja Damsyik, Syair Raja Damsyik, Cerita Pak Belalang, dan Lebai Malang.

Penulis yang lain adalah Raja Haji Daud, saudara seayah Raja Ali Haji. Dia menulis buku (1) Asal Ilmu Tabib dan (2) Syair Peperangan Pangeran Syarif Hasyim. Raja Ali dan Raja Abdullah, kedua-duanya putra Raja Jaafar, Yang Dipertuan Muda VI Kesultanan Riau, juga menjadi penulis. Raja Ali, yang juga menjadi Yang Dipertuan Muda VIII Kesultanan Riau-Lingga (1844-1857), menulis (1) Hikayat Negeri Johor, (2) Syair Nasihat (1858), dan diperkirakan menulis Tawarikh Al-Wusta, yang oleh sebagian peneliti disebut sebagai karya Raja Ali Haji.

Raja Haji Abdullah ibni Raja Jaafar, selain menjabat Yang Dipertuan Muda IX Kesultanan Riau (1857-1858), juga menjadi penulis yang handal. Pemimpin tarekat Naqsabandiah itu menghasilkan karya (1) Syair Madi (1849),

  • Syair Qahar Masyhur, (3) Syair Syarkan, dan (4) Syair Encik

Raja Hasan, anak laki-laki Raja Ali Haji, diketahui juga menulis sebuah syair. Karyanya dalam bentuk syair, Syair Burung nama gubahannya itu. Raja Abdul Muthalib menghasilkan dua buah karya: (1) Tazkiratul Ikhtisar dan

(2) Ilmu Firasat Orang Melayu.

Raja Haji Muhammad Tahir bin Raja Haji Abdullah (YDM IX Kesultanan Riau) sehari-hari dikenal sebagai hakim. Walaupun begitu, beliau juga menghasilkan karya sastra yaitu Syair Pintu Hantu.

Penulis berikutnya Raja Ali Kelana. Beliau mengha- silkan karya dalam bidang bahasa yaitu Bughiat al-Ani Fi Huruf al-Ma’ani (1922). Karyanya yang lain ialah Pohon Perhimpunan (1897), Perhimpunan Pelakat (1899), Rencana Madah, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, dan Per- cakapan Si Bakhil.

Abu Muhammad Adnan (Raja Abdullah ibni Raja Hasan) menghasilkan karya asli dan terjemahan. Karya beliau dalam bidang bahasa adalah Kitab Pelajaran Bahasa Melayu dengan rangkaian Penolong Bagi yang Menuntut akan Pengetahuan yang Patut, Pembuka Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah (1926), Rencana Madah pada Mengenal Diri yang Indah. Selain itu, beliau juga menulis Hikayat Tanah Suci (1924), Kutipan Mutiara, Syair Syahinsyah (1922), Ghayat al-Muna, dan Seribu Satu Hari. Pengarang berikutnya adalah Raja Umar ibni Raja Hasan. Beliau menulis buku Ibu di dalam Rumah Tangga. Khalid Hitam atau nama sebenarnya Raja Khalid ibni Raja Hasan, selain aktif dalam kegiatan politik, juga dikenal sebagai pengarang. Karya-karya beliau adalah (1) Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi ke Singapura (1894), (2) Peri Keindahan Istana Sultan Johor yang Amat Elok (1894), dan (3) Tsamarat al-Matlub

Fi Anuar al-Qulub (1896).

Raja Haji Ahmad Tabib, sesuai dengan namanya, adalah seorang tabib terkenal di Kesultanan Riau. Selain profesinya itu, beliau juga menjadi pengarang dan menulis lima buah buku. Kelima karya tersebut adalah (1) Syair Nasihat Pengajaran Memelihara Diri, (2) Syair Raksi Macam Baru, (3) Syair Tuntutan Kelakuan, (4) Syair Dalail al-Ihsan, dan (5) Syair Perkawinan di Pulau Penyengat.

Raja Haji Muhammad Said bin Raja Muhammad Tahir dikenal sebagai penerjemah. Karya terjemahannya (1) Gubahan Permata Mutiara (1909, terjemahan ’Iqd al- Jawahar Fi Maulid Nabi al-Azhar karya Ja’far al-Barzanj) dan (2) Simpulan Islam (terjemahan karya Syaikh Ibrahim Mashiri).

Haji Muhammad Yusuf Puspa Teruna diketahui menghasilkan sebuah karya. Karya itu dicetak oleh Perce- takan Kerajaan di Lingga atau Ofis Cap Gubernemen Lingga pada 1889 dengan judul Taman Permata. Bersamaan dengan karya itu, percetakan yang sama menerbitkan Napoleon III, Hikayat Pelayaran Abdullah, dan Syair Taman Beradu.

Penulis Haji Abdul Rahim menghasilkan sebuah karya. Karya yang selesai ditulis pada 1894 itu diberi judul Syair Hikayat Tukang Kayu yang Bijaksana dengan Tukang Emas yang Durjana.

Penulis Haji Abdul Karim juga menghasilkan sebuah karya syair. Syairnya berjudul Syair Kisah Keling dengan Bakyah dan Rahimah (1894). Penulis Ali bin Ahmad Al-Attas diketahui sekurang-kurang menghasilkan satu karya. Karya beliau Jadwal Takwim diterbitkan oleh Mathba’at al- Riauwiyah, Bandar Riau, Pulau Penyengat pada 1898.

Raja Jumat bin Raja Muhammad Said diketahui sekurang-kurangnya menulis sebuah karya. Karya tersebut diterbitkan oleh Mathba’at al-Riauwiyah, Bandar Riau, Pulau Penyengat pada 1909 dengan judul Hikayat Ali Syar.

Pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 dunia kepengarangan di Kesultanan Riau juga diramaikan oleh penulis-penulis perempuan. Di antara mereka terdapat nama Raja Saliha. Beliau dipercayai mengarang Syair Abdul Muluk (1846) bersama Raja Ali Haji.

Encik Kamariah menulis Syair Sultan Mahmud (1850- an). Penulis ini adalah pengasuh Sultan Mahmud Muzaffar Syah. Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Mengindera dan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bodoh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji.

Dua orang istri Abu Muhammad Adnan juga menjadi penulis. Pertama, Salamah binti Ambar menulis dua buku yaitu (1) Nilam Permata dan, (2) Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Kedua, Khadijah Terung menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan, sebuah karya yang tergolong kontroversial pada zamannya, bahkan hanya boleh menjadi bacaan orang yang telah menikah pada masa kini.

Penulis perempuan yang lain ialah Badriah Muham- mad Thahir. Beliau memusatkan perhatian dalam bidang penerjemahan. Karya terjemahannya adalah Adab al-Fatat, berupa terjemahan dari karya Ali Afandi Fikri.

Penulis perempuan yang sangat terkenal dari generasi Kesultanan Riau adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji dan istri Khalid Hitam itu menulis (1) Syair Khadamuddin (1926), (2) Syair Seligi Tajam Bertimbal, (3) Syamsul Anwar, dan (4) Hikayat Shariful Akhtar (1929). Dengan karya- karyanya, Aisyah Sulaiman dikenal sebagai pelopor kesusastraan transisi antara tradisional dan modern di Dunia Melayu. Ofis Cap Kerajaan di Lingga dan Mathba’at al- Riauwiyah, Bandar Riau, Pulau Penyengat ada juga menerbitkan banyak karya yang belum diketahui siapakah penulisnya. Di antara karya-karya itu adalah (1) Syair Taman Beradu (Ofis Cap Kerajaan di Lingga, 1889), Undang- Undang Polisi Kerajaan Riau (Mathba’at al-Riauwiyah, 1893), Furu’ al-Makmur atau Undang-Undang Kanun Kesultanan Riau (Mathba’at al-Riauwiyah, 1895), Taman Penghiburan (Mathba’at al-Riauwiyah, 1896), Zikr Isim Zat ala Tariqat al-Naqsabandiyah (Mathba’at al-Riauwiyah, 1904), dan lain-lain.

Senarai penulis dan karya-karya mereka yang dikemu- kakan di atas belumlah daftar yang lengkap. Menurut Ding Choo Ming (1999), penulis di lingkungan Kesultanan Riau berjumlah 41 orang dengan karya yang dihasilkan 95 karya. Dari jumlah penulis itu, terdapat 19 penulis keturunan bangsawan dengan 67 karya dan 22 orang penulis bukan keturunan bangsawan dengan 28 karya. Catatan Ding itu pun belum meliputi seluruh penulis dengan semua karya mereka. Mengapakah perkembangan tamadun Melayu begitu pesat di Kesultanan Riau, terutama ketika berpusat di Pulau Penyengat Inderasakti?

Jawab dari pertanyaan itu, jika dirujuk George Henry Lewes dalam bukunya The Principle of Success in Literature (1969), adalah ini, “Rakyat dari segenap lapisan masyarakat sangat mencintai aktivitas dan kreativitas budaya.” Berhubung dengan itu, Andaya dan Matheson melalui artikel mereka “Islamic Thought and Malay Tradition: The Writings of Raja Ali Haji of Riau, ca. 1809—ca. 1870” (1979) menambahkan “… kaum bangsawan dan elit Kesultanan Riau melibatkan diri langsung secara aktif dalam kegiatan membangun tamadun itu.” Itulah kunci kejayaan pengembangan dan pembinaan tamadun Melayu pada masa Kesultanan Riau.

Dengan demikian, aktivitas membangun tamadun itu memerlukan kesungguhan kedua belah pihak: para penulis dan pemerintah yang mendukungnya, serta mendapat sambutan positif dari khalayak pembaca atau masyarakat umumnya.

Dari senarai karya dan para penulis Riau yang diperikan di atas, dapatlah diketahui pada masa itu telah dilakukan pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu secara intensif dengan manajemen modern. Mereka melaksanakan pekerjaan itu jauh lebih dulu sebelum adanya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Indonesia atau Dewan Bahasa dan Pustaka di Malaysia.

Karya-karya linguistik mereka meliputi tata Bahasa, ejaan, dan kamus (Raja Ali Haji), etimologi (Haji Ibrahim), morfologi dan semantik (Raja Ali Kelana), dan pelajaran bahasa (Abu Muhammad Adnan atau Raja Abdullah). Bahkan, Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim turut mengerjakan kamus dwibahasa: Melayu Belanda dan Belanda-Melayu bersama H. von de Wall, yang ditugasi khusus oleh Pemerintah Hindia-Belanda ke Pulau Penyengat untuk mengerjakan tugas itu.

Karena upaya pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu yang dikelola secara modern dan baik itu, karya- karya mereka menjadi begitu istimewa dibandingkan dengan karya-karya para penulis Melayu di kawasan lain yang tak menghasilkan karya dalam bidang ilmu bahasa.

Pada masa itu telah dilakukan upaya pembakuan atau standardisasi bahasa Melayu. Ditambah dengan karya dalam pelbagai bidang lain yang bermutu tinggi, bahasa Melayu baku (Melayu tinggi) Riau-Lingga itu menjadi yang paling terkemuka di antara dialek Melayu yang ada di nusantara ini. Atas dasar itulah, bahasa Melayu baku Riau (Kepulauan Riau–sekarang) yang dibina di Pulau Penyengat Inderasakti diangkat menjadi bahasa Indonesia, yang berkedudukan sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara Republik Indonesia.

Bahasa nasional dan bahasa negara itu merupakan pemberian utama Riau (Kepulauan Riau) kepada Indonesia. Alhasil, bangsa Indonesia yang hidup di alam Indonesia merdeka boleh berbangga karena dapat berdiri setara dengan bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Pasalnya, bahasa nasional sekaligus bahasa negara kita berasal dari bahasa bangsa kita sendiri, bukan dari bahasa asing, apatah lagi bukan dari bahasa asing bangsa yang pernah menjajah kita. Bahasa Indonesia memang diperjuangkan oleh generasi pendahulu kita dan diwariskan kepada kita untuk ditingkatkan terus mutu bahasa dan mutu pemakaiannya. Pada gilirannya, bahasa Indonesia tetap mampu memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang multikultural sehingga kita sebagai bangsa dapat terus bersaing dengan bangsa mana pun di dunia ini. Begitu juga halnya bahasa nasional Malaysia, Singa-

pura, dan Brunei Darussalam. Bahasa nasional yang digunakan di negara-negara tetangga itu mengacu kepada bahasa Melayu baku yang dikembangkan oleh Raja Ali Haji dan teman-temannya di Pulau Penyengat Inderasakti.

Tamadun Melayu Riau juga telah menyumbangkan khazanah kesusastraannya kepada negara kita yang tercinta ini. Pelbagai genre kesusastraan yang dibina dan telah berkembang lama di kawasan ini sekaligus telah bersebati dengan kesusastraan nasional kita. Jenis-jenis kesusastraan Melayu seperti mantra, pantun, hikayat, syair, gurindam, dan peribahasa dengan pelbagai variasinya secara otomatis menjadi bagian dari kesusastraan Indonesia.

Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dan pantun telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia yang berasal dari Kepulauan Riau. Berikutnya, pasti akan menyusul genre sastra yang lain. Bahkan, pantun telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia oleh UNESCO pada 17 Desember 2020. Pantun Indonesia yang diajukan ke UNESCO itu berasal dari Kepulauan Riau dan Riau Daratan.

 

Sumber : Buku “Penyengat Inderasakti dan Jejak Sejarahnya
DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU