Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Sedangkan pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya.
Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 11 tahun 2011 tentang Pelestarian Cagar Budaya, bahwa pelestarian cagar budaya menjadi tanggungjawab Pemerintahan dalam menjaga dan melestarikan kawasan cagar budaya dan melibatkan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan kawasan cagar budaya secara maksimal agar tetap terjaga kelestarian peninggalan-peninggalan tersebut. Upaya Dinas Kebudayaan dalam Pelestarian cagar budaya di Pulau Penyengat yang merupakan warisan sejarah Kesultanan Riau-Lingga. Seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan perumahan berakibat pada bangunan dan situs pada kawasan cagar budaya Pulau Penyengat menjadi semakin sempit, bahkan ada kecenderungan masyarakat mendirikan bangunan di atas areal situs cagar budaya. Jika hal ini diabaikan, dikhawatirkan peninggalan-peninggalan tersebut cenderung akan musnah, termasuk pula peninggalan dalam wujud adat isitiadat masyarakat.
Salah satunya cagar budaya Kompleks Makam Embung Fatimah terletak di Bukit Bahjah, tidak jauh dari jalan menuju Kompleks Makam Raja Haji Fi Sabilillah. Selain Makam Embung Fatimah, di kompleks ini masih terdapat makam-makam lainnya yang seluruhnya berjumlah 21 makam yang dibatasi dengan pagar bertembok. Namun demikian, diantara 21 nisan makam pada kompleks makam ini sebenarnya tidak jelas yang mana nisan Makam Embung Fatimah tersebut. Hal ini karena tidak adanya penanda atau penamaan pada nisan-nisan yang ada.
Beliau dilantik sebagai Sultanah Lingga Riau pada tahun 1883 hingga 1885. Selama beliau menjadi Sultanah, beliau melakukan perjalanan dari kediamannya menuju tempat kedudukan suaminya Raja Muhammad Yusuf Yang Dipertuan Muda IX di Pulau Penyengat.
Setelah ini dilantik menjadi Sultanah dan setelah periodenya selesai beliau digantikan oleh puteranya Raja Rahman Muazam Syah. Embung Fatimah wafat dan dikebumikan di Kampung Ladi, Pulau penyengat.
Pernikahan antara Embung Fatimah dengan Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmady secara tidak langsung mempererat persekutuan antara raja Melayu dengan raja yang memiliki keturunan Bugis yang sebelumnya terpecah karena konflik kekuasaan.