Tahun 1672, Makam Tauhid, ibukota kesultanan Johor di semenanjung Melaka, telah diserang oleh Jambi, sebuah kerajaan Melayu di timur Sumatera, dan berpusat di sekitar sungai Batang Hari. Jambi adalah kerajaan Melayu tua, dan jejak sejarahnya sudah ada sejak zaman Sriwijaya (Hang Tuah dan Jejak Sejarahnya, Roda K Liamsi, dkk, 2021). Setelah Sriwijaya runtuh, Jambi takluk ke kerajaan Melaka. Johor sebagai penerus Melaka, kemudian menguasai Jambi. Tetapi, ketika Sultankerajaan Johorjatuh ke tangan Sultan Abdul Jalil Syah I, anak Raja Umar Pahang dengan Raja Fatimah putri Alaudin Syah II, pendiri Johor, maka Jambi dan beberapa kerajaan Melayu taklukannya, telah memberontak dan enggan tunduk, karena Sultan Abdul Jalil I bukan keturunan Melaka.
Ketika Sultan Johor dipegang oleh Sultan Abdul Jalil Syah III (masih dinasti Raja Umar), sekitar tahun 1667, dia telah mengirim Laksamana Tun Abdul Jamil dan angkatan perangnya, menyerang Jambi. Jambi kalah dan menyerah. Dan dalam perjanjian damai itu, Sultan Jambi telah menyerahkan putrinya untuk dinikahkan dengan keturunan Sutan Johor, tetapi mereka minta keturunan berdarah Melaka, bukan dari dinasti Pahang. Akhirnya yang disepakati untuk dinikahkan itu adalah Raja Bajau, keturunan Sultan Johor yang berdarah Melaka, anak Abdulah Muayat Syah, Sultan Johor (1613-1626), yang ketika itu menjabat sebagai Raja Muda Pahang.
Tapi Jambi kecewa dan merasa terhina, karena sejak menikah, Raja Bajau tidak pernah datang ke Jambi, menjemput istrinya. Dia tetap di Pahang, dan kemudian banyak berada di Riau, bersama mertuanya, Laksamana Tun Abdul Jamil. Ada informasi, Raja Bajau itu wafat di Ulu Riau, tahun 1676. Karena itu, sebagai balas dendam, tahun 1672, Jambi secara tiba-tiba menyerang Johor. Laksamana Tun Abdul Jamil dan angkatan perangnya yang berada di muara sungai Carang ketika itu, tak sempat menyelamatkan kesultanan Johor. Ibukota Johor yang sudah dipindahkan dari Makam Tauhid ke BatuSawar, dihancurkan, Harta benda di istana kesultanan Johor dirampas dan dibawa ke Jambi, termasuk 40 ton emas (Sejarah Melayu, Ahmad Dahlan, 2014). Kekalahan mendadak itu, dikatakan karena adanya pengkhianatan dari pihak pendukung, dinasti Melaka. Sultan Abdul Jalil Syah III terpaksa menyingkir ke Pahang, dan kemudian memerintahkan Laksamana Tun Abdul Jamil membangun Ibukota baru di pulau Bintan, dan Laksamana Tun Abdul Jamil memilih tempat ke arah hulu sungai Carang, yang kemudian dikenal dengan nama Ulu Riau atau Pangkalan Rama, Pembangunan ibukota Itu dikatakan dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja yang ramai. Siang dan malam. Karena itu terdengar riuh rendah. Dan dari suasana itulah kemudian muncul nama sungai Riau, sungai yang rioh (riuh).
Istana Sultan di Pangkalan Rama, bersama benteng dan pelabuhan, selesai di bangun tahun 1677. Tapi Sultan Johor Abdul Jalil Syah III, tak sempat pindah ke Ulu Riau, karena di penghujung tahun 1677, dia wafat di Pahang. Penggantinya adalah Ibrahim Syah, anak Raja Bajau, cucu Abdullah Muayat Syah, Sultan Johor yang wafat di pulau Tambelan, tahun 1626, setelah sempat menyingkir ke Lingga selama 5 tahun, karena diserang Aceh. Ibrahim Syah, Sultan Johor berdarah Melaka. Tahun 1678, Sultan Ibrahim Syah pindah ke Ulu Riau, dan memerintah kesultanan Johor dari Ulu Riau.Sultan Ibrahim Syah, adalah juga cucu Laksamana Tun Abdul Jamil,karena Raja Bajau menikah dengan anaknya. Tapi, sumber lain mencatat, Sultan Ibrahim Syah dikatakan juga menikah dengan anak Tun Abdul Jamil, sehingga Ibrahim Syah juga adalah menantu Tun Abdul Jamil.