GELAR DALAM MASYARAKAT MELAYU

Gelar Itu pada hakikatnya adalah nama. WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan gelar itu sebagai : 1) sebutan (title seperti Raden, Tengku, Dr. Ir, dsb;  2) nama tambahan setelah kawin;  3) nama tambahan sebagai tanda kehormatan menurut adat; 4) nama turun temurun.

Gelar “Kelana” Pada Raja Haji sebagai mana tercantum dalam kutipan dia atas adalah pangkat atau jabatan dalam Kesultanan Riau-Lingga setingkat dibawah Yang Dipertuan Muda. Dalam kebudayaan Melayu dikenal beberapa nama diri seperti nama batang tubuh, nama timangtimangan, nama turun temurun nama gelar baik yang berhubungan dengan kedudukan, pangkat, atau jabatan atau tidak, dan nama atau gelar posthumous yang diberikan setelah seseorang meninggal dunia. masih ada lagi nama atau gelar yang dipakai oleh orang Melayu yakni nama pengganti pada masa kanak-kanak apabila seorang anak selalu sakit-sakitan, dan nama yang
diubah setelah menunaikan fardhu haji. Semua penting diketahui agar dapat memahami naskahnaskah lama karena sering terjadi suatu nama diawal naskah tidak dijumpai lagi pada halamanhalaman selanjutnya padahal tokoh itu tetap sama orangnya.

Gelar-gelar seperti Tun Pikrama, Sang Guna dan Sang Setia artinya mengacu kepada nama tambahan sebagai kehormatan menurut adat, dan sekaligus menunjukkan bahwa penyandangnya sudah diperhitungkan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Gelar Tun Pikrama umpamanya menunjukkan bahwa orang yang menyandang bakal menjadi Bendahara. Sedangkan seorang bendahara Kesultanan Melaka wilayah pegangannya adalah Bintan. Jauh sebelum bersentuhan dengan kebudayaan Barat (eropa) kita diwilayah Nusantara ini sudah memiliki tradisi daerah pegangan yaitu daerah yang menjadi asal dan dianggap bertuah atau mengandung sempena untuk jabatan tertentu.

Jadi gelar itu lebih berarti pangkat atau jabatan, namun pemberian ditentukan oleh prestasi dan reputasi penyandangnya. Dalam kehidupan masa kini kita mengenal gelar kesarjanaan yang merupakan pengesahan hasil yang telah dicapai seseorang didalam pendidikan tinggi. Pada gelar ini juga terlihat bahwa pencapaian itu ditentukan pula oleh prestasi dan reputasinya. Seperti gelar-gelar tradisional yang kita perkatakan diatas gelar kesarjanaan itu mempunyai tertib pemakaian yang sudah diatur dan diikhtiarkan agar tidak menjadi rancu. Gelar yang mengandung makna kedudukan dalam pemerintahan tradisional tentu saja tidak dikenal dalam bentuknya yang asli lagi sekarang.

Masyarakat melayu adalah masyarakat yang menganut ajaran-ajaran agama Islam. Bahkan masyarakat melayu di identikkan dengan Islam. Walaupun sebenarnya penyebaran agama Islam secara formalnya baru terjadi saat kejayaan kesultanan melayu Melaka berdiri. Hal tersebut ditandai dengan berubahnya sebutan dari penguasa Melaka dari Raja menjadi Sultan. Maka pada saat itulah Kesultanan Melaka mulai menjalankan ajaran islam, yang ditandai dengan Sultan Melaka menjalankan cara-cara islam baik dalam pemerintahan maupun dalam melaksanakan hukuman adat. Pada akhirnya kesultanan Melaka berakhir pada tahun 1511 an dan kesultanan melayu diteruskan dengan berdirinya kesultanan-kesultanan melayu yang bercorak islam, salah satunya ialah kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang inilah cikal bakal perkembangan kehidupan sosial masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau saat ini.

Bermula saat Raja Sulaiman meminta bantuan kepada lima orang bugis untuk membantu mengembalikan kekuasaan kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dari tangan Raja Kecik yang berasal dari Siak. Apabila lima orang bugis tersebut berhasil memukul mundur Raja Kecik dan meninggalkan Riau, maka terjadi perjanjian sumpah setia diantara melayu dan bugis. Lima orang bugis tersebut melantik Raja Sulaiman sebagai Yang Dipertuan Besar yang berkuasa atas wilayah Riau-Lingga-Johor-Pahang dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Sedangkan dipihak bugis didudukkan sebagai Yang Dipertuan Muda dengan gelaran “Raja”. Yang Dipertuan Muda pertama ialah Daeng Marewah, namun Daeng Marewah tidak menggunakan gelaran “Raja”. Munculnya gelaran Raja didepan nama menandakan adanya hubungan perkawinan diantara pihak bugis dan pihak melayu. Dalam hal ini adik dari Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah menikah dengan pihak bugis, ketika memiliki anak maka diberi gelar “Raja”. Gelar Raja ini sebagai bentuk bahwa telah terjadi penyatuan diantara Melayu dan Bugis, sehingga dapat hidup berdampingan didalam wilayah kekuasaan kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Sehingga apabila ada orang melayu yang memiliki gelar “Raja” didepan namanya, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut memiliki darah campuran diantara Bugis dan Melayu. Seperti yang kita kenal “Raja Haji Fisabilillah” sebagai pahlawan nasional yang berasal dari Kepulauan Riau, adalah merupakan anak dari Daeng Celak yang menikah dengan Tengku Mandak adik dari Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.

Selain gelaran Raja, dikalangan masyarakat melayu juga mengenal gelaran “Tengku” yang merupakan gelaran yang diberikan kepada anak dari Sultan. Anak dari sultan diberikan gelaran Tengku karena merupakan pewaris yang akan menggantikan kedudukan seorang sultan apabila sultan telah mangkat.

 

Sumber : Buku Upacara Adat Tradisional Melayu