Harus dimengerti bahwa upaya memahami jati diri berkaitan dengan aspek kebudayaannya, perekonstruksian sejarah budaya sejak masa prasejarah sampai masa colonial yang berlangsung di Tanjungpinang sangat diperlukan. Peninggalan yang ada akan memberikan gambaran kebudayaan yang telah dan masih berlangsung, sekaligus merupakan potensi daerah dalam upaya pengembangannya bagi berbagai kepentingan. Perekonstruksian dilakukan juga dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kebudayaan bagi masyarakat Tanjungpinang maupun masyarakat luas pada umumnya.
Kegiatan yang mengawali upaya penelusuran tapak peninggalan sejarah Kerajaan Riau mulai memperlihatkan bahwa kota Tanjungpinang memiliki situs yang cukup tua dengan luasan yang tidak kecil. Aktivitas arkeologis di Kota Rebah telah menunjukkan hal itu. Bahwa belum banyak yang diungkapkan, tentu berkaitan dengan kesempatan yang terbatas. Oleh karena itu jelas disadari bahwa masih banyak yang harus dikerjakan di sana, seperti juga dengan lokasi lain yang mengindikasikan kekunaannya.
Hasil kegiatan ekskavasi yang didahului survei permukaan di situs Kota Rebah, atau yang juga disebut Kota Lama, telah menambah jumlahan data yang cukup berartibagi upaya pengungkapan kehidupan masa lalu di kawasan tersebut. Namun disadari bahwa belum cukup bagi pembentukan sebuah interpretasi tentang keberadaannhya. Walaupun demikian, hingga saat ini informasi yang diperoleh melalui data yang terkumpul telah memungkinkan penarikan kesimpulan yang berhubungan dengan penghunian dan aspek-aspek kehidupan di sana.
Berdasarkan temuan dalam pengumpulan data di situs Kota Rebah, yang kegiatan ekskavasinya difokuskan pada bagian lahan di zona inti yang menurut cerita rakyat merupakan bekas bangunan masjid, dapat dikatakan bahwa belum dijumpai indikasi kearah pembenaran bahwa di sana dahulu merupakan tapak bangunan masjid.
Ekskavasi tidak menghasilkan indikasi yang jelas tentang keterkaitannya dengan keberadaan sisa struktur bangunan yang oleh sebagian anggota masyarakat dipercaya sebagai bagian dari bangunan masjid.
Cerita bahwa situs Kota Rebah dahulu merupakan istana Kerajaan Melayu juga belum memperoleh bukti arkeologis. Apalagi hingga saat ini belum dijumpai sumber lama yang menyebut tentang hal itu. Ini berbeda misalnya dengan situs Kota Piring yang berada di dekat situs Kota Rebah.
Kemolekan istana Kota Piring diceritakan dalam kitab Tuhfat al-Nafis (atau Persembahan Indah) buah karya Raja Ali bin Raja Ahmad dari Riau, cucu Raja Haji Ali, yang berada di garis langsung dari sejarah Bugis dan Riau. Karya yang merupakan salah satu sumber sejarah Melayu yang bermanfaat itu adalah naskah Jawi bernilai kesusasteraan tinggi yang mulai ditulis pada tahun 1865 dan mengikhtisarkan sejarah lama Singapura, Malaka, dan Johor. Bagi pengenalan sejarah Riau dan Tanah Melayu Selatan, nilai utamanya adalah tentang masa dari akhir abad ke-17 sampai sesaat sebelum waktu penulisan. Dibandingkan dengan sumber-sumber lain, kitab Thufat al-Nafis yang melahirkan patokan baru dalam historiografi Melayu ini memang paling dapat diandalkan (Bottoms 1995).
Demikianlah dengan melihat kondisi sisa struktur bangunan dari komponen pembentuk kompleks situs Kota Rebah, justru muncul pemikiran apakah situs itu justru merupakan sisa kompleks bangunan lain yang komponen pembentuknya mengarah kepada bentuk sebuah loji.
Pengertian loji, yang berasal dari bahasa Portugis feitoria, adalah tempat tinggal, gudang, dan kantor pada daerah-daerah di seberang lautan di mana mereka berdagang. Dalam konteks Indonesia, pengertian loji lebih bermakna bangunan yang digunakan sebagai kantor/gudang atau benteng kompeni pada masa colonial Belanda. Ujud loji memang dapat berupa benteng atau kubu pertahanan, atau hanya bangunan biasa.