CERITA RAKYAT GUNUNG LIMA BERADIK

Kabupaten Lingga mempunyai berbagai warisan cerita rakyat. Diantaranya cerita rakyat yang berhubungan dengan gunung yang ada di Pulau Lingga. Terdapat empat gunung yang di Pulau Lingga yakni, gunung Sepincan, gunung Daik, gunung Tanda dan gunung Seretih. Gunung Sepincan, gunung Daik dan gunung Tanda kelihatan berjejer. Jika kita melihat dari arah kelurahan Daik, letak ketiga gunung disebelah barat. Dari Kelurahan Daik akan terlihat Gunung Daik terletak ditengah-tengah, dengan sebelah kanan gunung Sepincan dan sebelah kiri gunung Tanda. Keempat gunung dalam cerita rakyat berasal dari tiga bersaudara yang sangat berbakti kepada orang tua. Keempatnya rela menjadi gunung untuk berbakti kepada orang tua yang sangat mereka cintai. Di samping itu terdapat juga satu gunung yang bernama gunung Banang tetapi konon kabarnya tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Dalam cerita rakyat, gunung Daik disebut juga dengan gunung Lingga. Gunung Daik mempunyai tiga puncak bercabang tiga, dan salah satu puncak disebut dengan gunung Lingga.

Menurut cerita rakyat konon pada zaman dahulu kala adalah sebuah negeri, Kelang namanya. Negeri itu sangat besar; kalau seekor burung terbang mengelilinginya, tiga hari tiga malam barulah dapat balik semula ke tempatnya mula-mula terbang.

Raja negeri itu seorang raja yang adil dan murah hati, dikasihi oleh sekalian hamba rakyatnya. Beginda mempunyai lima orang putera yang senantiasa rukun seia sekata. Yang sulung bernama Lingga, Adik-adiknya Reteh, Pincan, Tanda dan yang bungsu Banang.

Dengan takdir Tuhan yang maha kuasa pada suatu hari ketika terbangun dari tidurnya raja negeri itu tidak dapat melihat apa-apa. Lalu dipanggillah sekalian bomoh dan dukun untuk mengobati mata baginda yang tiba-tiba menjadi buta itu. Akan tetapi segala usaha untuk mengobati raja itu sia-sia belaka.

Dalam keadaan putus asa pada suatu malam permaisuri raja itu bermimpi didatangi oleh seorang tua yang sudah putih rambut dan janggutnya memberitahukan bahwa penyakit baginda hanya dapat diobati dengan air rendaman geliga yang terdapat di puncak pohon dan di pusat tasik pauh janggi. Mimpi itu diceritakan sang permaisuri kepada baginda keesokan harinya.

Ketika didengar oleh kelima orang anak-anak raja Kelang itu ibunya menceritakan mimpinya kepada baginda, mereka pun segera menyatakan keinginan untuk mendapatkan geliga itu.
“biar mati sekalipun kami rela asalkan ayahnda dapat sembuh kembali,” kata kelima orang anak-anak raja itu.

Bukan main sedihnya hati kedua orang tua itu mendengar kesanggupan berkorban anak-anaknya demikian. Biar bagaimana pun mereka melarang anak-anaknya, kelima orang anak-anak itu tetap bersikeras hendak pergi juga.

Karena tak berhasil menegah keinginan anak-anaknya, akhirnya permaisuri itu berkata sambil bercucuran air mata, katanya, “Baiklah jika sudah demikian kehendak anak-anakku. Akan tetapi biarlah si bungsu tinggal untuk pengobat hati kami berdua”.

Setelah berunding, Lingga, Reteh, Pincan dan Tanda setuju untuk tidak membawa serta adik bungsu mereka. Mendengar keputusan itu Banang pun merajuk dan pergi seorang diri ke hutan. Dipanjatnya sebatang pohon dan duduklah ia pada sebuah cabang sambil menangis.

Dari situ ia melihat keempat abangnya memilih sebatang pohon yang tidak bernama untuk dibuat jongkong. Dari situ pula ia mendengar abang-abangnya berseru, “Hai kapak, hai pohon yang tidak bernama, bersahabatlah kamu. Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi.” Kapak pun bersahabat dengan pohon yang tidak bernama itu. Begitu ditebang begitu tumbang. Lalu abang-abangnya berseru, “Hai beliung, hai kayu yang tidak bernama, bersahabatlah kamu. Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi.” Beliung pun bersahabat dengan kayu yang tidak bernama itu. Begitu ditebuk begitu berlubang, begitu dibuat begitu jadi.

Dari cabang pohon tempatnya duduk itu pula Banang mendengar abang-abangnya berseru lagi, ”Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon yang tidak bernama, hai tanah negeri Kelang, bersahabatlah kamu. Kami hendak pergi kepusat tasik pauh janggi.” Jongkong pun bersahabat dengan tanah negeri Kelang itu. Begitu disorong begitu melongsor, tak perlu bergalang lagi, melongsor sampai ke tepi pantai.

Di tepi pantai kedua orang tua mereka sudah menunggu untuk melepas keberangkatan keempat anaknya. Sang ibu memberikab kepada Lingga sebatang tongkat, kepada Reteh sebungkah belerang, kepada Pincan sehelai sapu tangan, dan kepada Tanda sebutir padi.

Anak-anak yang berbakti itu pun menaiki jongkong yang dibuat dari kayu pohon tidak bernama. Mereka lalu berseru, “Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon yang tidak bernama, hai angin sorong buritan, bersahabatlah kamu. Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi.” Jongkong yang dibuat dari kayu pohon yang tidak bernama itu pun bersahabat dengan angina sorong buritan. Begitu didayung begitu melaju, begitu dilayar begitu melancar, seperti tenggiri batang melintang gelombang, sekejap mata saja hilang dari pandangan. Hanya suara sayup-sayup keempat anak raja itu masih terdengar berseru, “Laju, lajulah jongkongku laju. Kami hendak pergi ke pusat tasik pauh janggi ….“ Bunyi seruan itu terdengar seperti sayatan sembilu di telinga raja Kelang, di telinga permaisuri, dan di telinga Banang yang masih duduk berjuntai pada cabang pohon di dalam hutan.

Si bungsu itu pun meneteskan air mata sambil menahan sedu sedan. Pedih hati sekalian pohon-pohon dan hewan yang ada dalam hutan itu melihat kesedihan Banang. Karena itulah sebuah seludang pinang tak tahan melihatnya lalu menjatuhkan diri ke tanah, dan seekor burung bayan itu berkata seorang diri, “Salangkan seludang pinang yang mengandung anak raja Campa lagi bersedih hati, apalagi aku.” Mendengar kata-kata burung bayan itu Banang pun segera turun dari cabang pohon tempatnya berjuntai. Dipungutnya seludang pinang itu lalu berseru, “Kalau benar engkau seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa, bawalah aku menyusul abang-abangku ke pusat tasik pauh janggi!” Seludang pinang itu bergerak-gerak seperti ular dan Banang menaikinya bersama burung bayan yang bertengker di ujungnya.

Seludang pinang itu segera meluncur dengan lajunya melalui istana raja. Raja Kelang dan permaisurinya sedang berdiri di pintu sehingga sempat didengarnya anaknya berteriak, “Ayah dan bunda, jangan kesal jangan marah. Biarlah si bungsu menyusul abang-abangnya. Kalau-kalau mereka mendapat marabahaya dapatlah si bungsu menolong. Ayah dan bunda, jangan kesal janganlah marah!” dan Banang terus meluncur dengan seludang pinangnya, membelah ombak meniti alun, mengejar jongkong yang dinaiki abang-abangnya.

Tak tentu lagi bilangan hari, entah berapa lautan yang sudah dilalui, entah berapa macam rebut dan badai sudah menerpa, ingat mana rindu mana, ingatkan ayah rindukan bunda, kasih mana, tangis mana, kasihkan ayah tangiskan bunda, pedih mana sakit mana, pedihkan ayah sakitkan bunda, nasib mana untung mana, nasib badan untung diri semuanya datang dari yang maha kuasa.

Seludang pinang yang dinaiki Banang itu akhirnya mendekati arus yang berputar di sekeliling pulau di pusat tasik pauh janggi. Akan tetapi tak dapat merapat ke pantai pulau yang berpasir hitam, berbatu-batu hitam, berbukit hitam, ada sebatang pohon pauh hitam besar tersergam. Di puncaknya sekali kelihatan cahaya yang memancar menyilaukan mata. Itulah cahaya geliga yang dicari-cari untuk dijadikan obat raja negeri Kelang.

Dengan susah payah Banang berdayung agar perahu seludang pinangnya dapat merapat ke pantai. Akan tetapi segala usahanya sia-sia belaka. Karena itulah ia lalu berseru, katanya, “Kalau benar engkau seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa, merapatlah kepantai pulau di pusat tasik pauh janggi!” namun seludang pinang itu tetap terkatung-katung dibawa arus yang berputar mengelilingi pulau hitam itu. Banang menjadi bingung dibuatnya. Lalu burung bayan yang bertengker di haluan berkata, “Tiada kuasa seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa merapat ke tepi pantai pulau di pusat tasik pauh janggi ini karena anak bungsu raja Kelang pergi berlayar dengan tiada izin ayah dan bundanya.” Jadi tetaplah seludang pinang yang dinaiki Banang dengan burung bayan yang bertengker di haluannya itu terkatung-katung dibawa arus yang berputar mengelilingi pulau hitam berpasir hitam, berbatu-batu hitam besar tersergam.

Dengan sedih Banang melihat jongkong kenaikan abang-abangnya baru saja sampai ke tempat arus yang berputar mengelilingi pulau itu. Karena jongkong itu tak hendak merapat ke pantai, keempat abang-abangnya berseru, “Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon tidak bernama, hai pantai pulau dipusat tasik pauh janggi, bersahabatlah kamu. Kami hendaknya ke pusat tasik pauh janggi.” Jongkong itu pun meluncurkan dengan lajunya, tersadai di pasir pantai pulau itu.

Baru saja jongkong kenaikan keempat beradik itu merapat kepantai terdengar suara dengus seperti kerbau liar berjumpa rumput berembun. Dari balik bukit muncullah anak gergasi berlari ke arah jongkong itu. Matanya merah menyala-nyala marah kepada keempat orang anak manusia yang telah berani menjejakkan kaki di pulau tempat tinggalnya.

Tanda melemparkan padi sebutir yang dibekalkan ibunya sambil berseru, “Makanlah padi sebutir yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bulan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit!” padi itu berubah menjadi sebesar buah labu sepemeluk. Anak gergasi itu memandang buah yang aneh itu sampai meleleh air liurnya. Diambilnya buah itu dan memakannya dengan sekali telan. Ia pun kekenyangan dan tertidur menelungkup di pasir. Dengkurnya menderu seperti rebut barat.

Dari balik bukit terdengar pula suara menggelegar mak gergasi memanggil anaknya. Lingga dan adik-adiknya segera bersembunyi di balik sebongkah batu besar. Ketika mak gergasi itu mendekati anaknya yang tertidur menelungkup, Pincan melemparkan sapu tangan yang dibekalkan ibunya sambil berseru, “Ambillah sapu tangan yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bukan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit!” Mak gergasi itu mengambil sapu tangan itu, kegirangan seperti gila, menatri-nari bersorak-sorak, dan tersungkur pingsan disamping anaknya.

Dengan bergegas keempat adik beradik itu melanjutkan perjalanan menuju ke pohon pauh hitam tersergam di puncak bukit. Akan tetapi baru beberapa langkah berjalan, bapak gergasi datang dengan marahnya. Suaranya menggeram seperti guruh di tengah hari.

Reteh melemparkan belerang sebungkah yang dibekalkan ibunya sambil berseru, “Makanlah belerang sebungkah yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bukan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit!” bapak gergasi itu menyambut belerang yang dilemparkan kepadanya, mencium-cium benda itu, menggigitnya sedikit lalu menelannya dengan lahap. Ia lalu jatuh tersungkur karena mabuk belerang, pingsan seperti mati. Air liurnya menganak sungai dan baunya bacin sekali.

Lingga, Reteh, Pincan dan Tanda segera berlari ke arah pohon pauh hitam tersergam tempat sebuah geliga yang bercahaya terletak di puncaknya. Namun ketika mereka sampai dekat pohon itu, seekor naga besar melilit pohon hitam besar itu menjelirkan lidahnya yang berapi-api dan mendengus dengan dahsyat.

Lingga memukul naga itu dengan tongkat yang dibekalkan ibunya sambil berseru, “rasakanlah pukulan tongkat yang telah dibekalkan perempuan yang telah mengandung aku sembilan bukan sepuluh hari dengan susah payah letih dan sakit!” dengan sekali pukul saja naga itu jatuh ke tanah, matanya yang merah menyala terpejam dan lidahnya yang berapi-api kelu dan dingin.

Keempat adik-beradik itu memanjat pohon yang dijaga naga tadi. Lingga yang paling atas, diikuti oleh Reteh, Pincan dan Tanda. Geliga dipuncak pohon pauh itu diambil oleh Lingga, diberikan kepada Reteh, yang mengulurkan nya kepada Pincan, yang kemudian mengulurkan pula kepada Tanda. Lalu keempatnya berlari sekuat-kuatnya menuju jongkong mereka yang tersadai di tepi pantai.

Baru saja keempat adik beradik itu hendak menaiki jongkong, anak gergasi yang tertidur tadi terbangun. Ia berteriak membangunkan ibunya, “Mak, mak, bangun! Geliga kita diambil orang.”

Mak gergasi terbangun dari pingsannya. Ia berteriak membangunkan lakinya, “bapak gergasi, bapak gergasi, bangun! Geliga kita diambil orang.”

Bapak gergasi terbangun dari mabuknya. Ia berteriak membangunkan naga penunggu geliga, “Naga perkasa, naga perkasa, bangun! Geliga kita diambil orang .”

Naga itu mengeliat, dan seluruh alam seperti berkisar. Lalu naga itu melenguh, dan seluruh alam bergoncang. Akhirnya naga itu bangkit sambil mengibarkan ekor, lidah terjelir dari mulutnya mengeluarkan api.

Bapak gergasi berkata kepada mak gergasi dan anaknya, “Lekas naik ke badan naga ini. Mari kita kejar orang-orang yang mengambil geliga kita.”

Keempat adik-beradik itu berseru, “Hai jongkong yang dibuat dari kayu pohon tidak bernama, hai angin tegang kelat, bersahabatlah kamu. Kami hendak balik ke negeri Kelang, membawa geliga untuk obat raja.” Akan tetapi biar bagaimana pun keempat adik-beradik itu berseru-seru jongkong itu tetap tak hendak menghala kearah negeri Kelang. Mereka sampai kelaut tempat Banang sedang terkatung-katung.

“Adik bungsu, adik bungsu!” kata keempat abangnya kepada Banang. “Bawalah geliga ini kepada ayah bunda. Tapi dengan pesan abang : setelah air rendaman geliga ini menyembuhkan ayah kita, buanglah ketengah laut. Kalau tidak naga itu akan terus mencari orang yang mengambilnya.”

Geliga itu dilemparkan oleh abangnya kepada Banang. Burung bayan terbang keudara, menyambut geliga itu dengan paruhnya, lalu menelannya. Kemudian burung itu kembali bertengker di haluan. Jongkong kenaikan abang-abang Banang melaju menuju arah yang bertentangan dengan negeri Kelang, sampai ke sebuah pulau.

Tak lama setelah jongkong itu hilang dari pandangan, melintas dekat kenaikan Banang seekor naga yang ditunggangi oleh gergasi tiga beranak. Anak gergasi itu geli hatinya melihat Banang berperahukan seludang pinang, katanya, “Mak, mak, tengok itu! Orang sampan menangkap ikan, perahunya seludang pinang, ada burung bayan bertengger di haluannya.” Gergasi tiga beranak itu tertawa terpingkal-pingkal. Sampai mereka hilang dari pandangan masih terdengar suara ketawa mereka dibawa angin.

Banang lalu berseru, “Kalau benar engkau seludang pinang yang pernah mengandung anak raja Campa, bawalah aku balik ke negeri Kelang!” seludang pinang itupun melancar laju, membelah ombak meniti alun, menuju negeri Kelang.

Sesampainya ke pantai Kelang burung bayan di haluan bertelurkan geliga yang ditelannya. Banang mengambilnya dan menyimpan dilengan bajunya. Setelah meletakkan burung bayan ke atas bahu dan menyandang seludang pinang ia pun berlari menuju istana. Dari jauh ia sudah berteriak, “Ayah bunda, ini si bungsu sudah balik. Ambillah air semangkok untuk merendam geliga penawar.”

Air rendaman geliga penawar itu dilumurkan ke mata raja Kelang, dan sembuhlah dia. Banang mengambil geliga itu dan menyimpannya di lengan baju.

“Ayah dan bunda,” katanya, “segeralah berkemas meninggalkan negeri ini karena naga pemilik geliga ini akan datang kesini setelah mengalahkan abang-abang empat beradik.”

Dengan bercucran air mata kedua ayah bunda itu pergi meninggalkan negerinya. “Banang,” kata raja Kelang itu sebelum berangkat. “kalau engkau dikalahkan oleh naga itu seperti abang-abangmu, jadilah gunung-gunung sebagai pasak bumi ini dan akan dikenang setiap orang memandangnya.”

Belum jauh mereka berjalan, dari arah laut terdengar bunyi dengus naga itu datang mendekat. Dan negeri Kelang itu pun berubah menjadi padang jalak padang tekukur, habis hancur luluh diporak-perandakannya. Jadilah Banang sebuah gunung yang tinggi mengawan, sedangkan abang-abangnya empat beradik menjadi Gunung Lingga, gunung Sereteh, gunung Sepincan, dan gunung Tanda.

 

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga