TALI LAWE

Dalam adat istiadat pernikahan di Lingga terdapat adat istiadat tali lawe. Setelah arak-arakan pengantin laki-laki untuk bersanding sampai di rumah pengantin perempuan, disambut dengan silat pengantin. Setelah itu dihadang dengan tali lawe, Tali lawe merupakan kain panjang yang direntangkan oleh dua orang untuk menghalangi jalannya pengantin laki-laki. Pada masa yang lalu oleh orang tertentu digunakan kain cindai. Tali lawe yang menghadang pengantin laki-laki perlu dibuka agar tidak menghalangi jalannya pengantin laki-laki, terlebih dahulu dengan memberi tebusan uang tertentu untuk Mak Inang. Untuk menyingkirkan tali lawe diadakan berbalas pantun antara perwakilan pihak pengantin laki-laki dan perempuan. Pantun-pantun berisikan permintaan untuk membuka tali lawe dan permintaan pihak pengantin laki-laki yang meminta uang tebusan. Setelah pihak pengantin laki-laki menyerahkan uang, tali lawe segera di buka dan pengantin laki-laki selanjutnya dapat berjalan menuju ketempat persandingan.          

Adat istiadat menghadang pengantin dengan meminta uang tebusan telah menjadi adat istiadat Kerajaan Lingga-Riau. Dalam aturan adat istiadat meminang dan mengarak raja mempelai di Kerajaan Lingga-Riau disebutkan apabila sampai ke pintu kota, telah hadirlah dua orang membawa talam berisi cindai bersimpul puleh tiga simpul, serta satu batil, seraya melarang, tiada memberi masuk. Maka memberilah mana-mana kerabat pihak laki-laki akan beberapa uang penebus, sambil dicampakkan ke dalam batil. Maka diberilah izin oleh kerabat pihak perempuan, maka barulah masuk. Apabila sampai dipintu selasar, telah hadir pula disitu orang membawa talam berisi cindai bersimpul pulih dua simpul, serta satu batil, Maka ditebus pula sebagaimana dipintu kota itu. Maka apabila sampai dipintu tengah, telah hadir pula di situ orang membawa talam berisi cindai bersimpul pulih satu simpul. Apabila telah ditebus maka mempelai pun dipimpin oleh dua orang raja-raja yang tua-tua, dibawa naik disandingkan demikianlah, adanya. Syahadan adapun yang tersebut itu, ialah ikhtisarun dhabitun karangan orang tua-tua pada tertib raja-raja meminang sama raja dan mengarak mempelai, dan telah berlaku adat istiadat itu beberapa masanya di dalam Kerajaan Lingga.

Sumber : Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga